Nasional

Guru Besar dan Dosen 67 Kampus Ternama Tolak UU Cipta Kerja : Jungkirbalikkan Perspektif Publik

apahabar, JAKARTA — Sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi ternama di Tanah…

Guru Besar Hukum Unpad Susi Dwi Harijanti (Foto : oposisicerdas.com)

apahabar, JAKARTA — Sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi ternama di Tanah Air ikut protes dan menyatakan keberatan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan DPR pada rapat paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja, di Gedung DPR, Jakarta Senin (5/10/2020) pada tengah malam.

DPR tetap mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang mendapat banyak penolakan dari berbagai kalangan dari kaum buruh, akademisi, mahasiswa hingga politikus karena dianggap merugikan buruh, nelayan, petani dan mengancam lingkungan.

Aksi unjuk rasa dan penolakan terjadi di berbagai daerah di tanah air baik dari kalangan buruh, mahasiswa hingga pelajar, sejak sebelum RUU Cipta Kerja disahkan DPR hingga saat ini.

Akademisi dari berbagai pergurunan tinggi ternama di tanah air menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru.

“Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatannya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat,” ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu (7/10/2020), sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, Kamis (8/10/2020).

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual.

Baca Juga :
Viral Video Detik-detik Puan Maharani Diduga Matikan Mic Irwan Fecho di Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja

Baca Juga :
Viral Video Detik-detik Puan Maharani Diduga Matikan Mic Irwan Fecho, Masinton Pasaribu PDIP : Mic Mati Otomatis

Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

“Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja DPR dan pemerintah pada pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya,” tuturn Guru Besar Hukum Unpad itu.

Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.

“Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar,” imbuh dia.

Pakar hukum tata negara itu menjelaskan UU Ciptaker bahkan melanggar nilai konstitusi UUD 1945. Contohnya, pada Pasal 18 ayat lima UUD 1945, yang mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, namun ternyata pada UU tersebut justru menarik kewenangan ke pusat.

“Peran Pemda dikerdilkan dan membuat Jakarta terlalu kuat. Begitu juga dengan hak buruh yang seakan diambil alih dengan menyerahkannya pada peraturan perusahaan,” ujarnya.

Susi menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.

“Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan,” katanya.

Dia memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan para akademisi.

“Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Ciptaker,” tutupnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar menilai, UU Ciptaker dibuat dengan cara tidak transparan. Publik dan sebagian lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker, tapi tiba-tiba RUU itu sudah ada di DPR.

“Kita tidak bisa mengakses sama sekali. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan aturan,” kata Zainal, Rabu (7/10/2020).

Baca Juga :
Masinton Bela Puan Maharani soal Video Matikan Mic Irwan Fecho Ini Kata Hinca dan Fadli Zon

Baca Juga :
Aksi Demonstrasi Tolak UU Omnibus Law Sempat Memanas, Polisi Pasang Kawat Berduri di Depan Kantor DPRD Kalsel

Zainal juga menilai, penyusunan UU tersebut, sama sekali tidak melibatkan publik. Padahal, Omnibus Law Cipta kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster.

“Proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada, padahal 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda. Bagaimana digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat,” tambah dia.

Diketahui, DPR dan pemerintah telah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Sabtu (3/10) malam.

Setelah fraksi-fraksi DPR, pemerintah, dan DPD menyampaikan pandangan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengetuk palu tanda persetujuan pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja akan disahkan di rapat paripurna DPR.

Rapat Paripurna DPR yang terjadwal pada Kamis (8/10) pun kemudian dimajukan menjadi Senin (5/10). DPR pun mempercepat penutupan masa sidang pertama pada 2020-2021.

Editor : El Achmad