Hutan Adat Awyu

Gugatan Perusahaan Sawit ke PTUN, Greenpeace: Tentukan Nasib Suku Awyu

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjar Ali mengungkapkan, gugatan dua perusahaan sawit terhadap KLHK sangat menentukan nasib Suku Awyu, Papua.

Sejumlah masyarakat suku Adat Awyu tiba di Kantor Komnas HAM pukul 14.20, Selasa (9/5). apahabar.com/Andrey

apahabar.com, JAKARTA - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjar Ali mengungkapkan gugatan dua perusahaan sawit terhadap KLHK di PTUN Jakarta akan menentukan nasib akhir Suku Awyu, Papua.

Kedua perusahaan tersebut yakni PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama milik Hayel Saeed Anam Group. Menurutnya, jika kedua perusahaan tersebut menang di PTUN, dipastikan hutan adat milik Suku Awyu yang tersisa akan habis dibabat.

"Perusahaan akan punya kesempatan untuk memperluas lahan sawitnya dengan cara menebang hutan Suku Awyu," jelasnya kepada apahabar.com di Jakarta, Rabu (2/8).

Dia mengungkapkan, seluas 8.828 hektare hutan adat suku Awyu telah diserobot oleh PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Padahal sebelumnya, kedua perusahaan itu telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar lewat Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.

Baca Juga: Komnas HAM Klaim Dukung Upaya Lindungi Hutan Adat Suku Awyu Papua

Luas hutan adat 8.828 hektare diketahui setelah Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. 

Melalui metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP memiliki konsesi yang letaknya berdampingan. Dari situ diketahui seluas 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut. Dari jumlah itu ternyata ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan.

"Dimana seharusnya ketika sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut, namun ada 65.415 hektare hutan hujan asli yang masih bisa diselamatkan," papar dia.

Baca Juga: Sidang Perkara Perusahaan Sawit dengan KLHK Berlanjut Pekan Depan

Gugatan tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang juga berlokasi di Boven Digoel, Papua Selatan.

Oleh karena itu, sambung Sekar, Greenpeace dan koalisi terus memperjuangkan hutan adat Suku Awyu Papua. Selain berjuang untuk Suku Awyu, hutan adat tersisa itu merupakan benteng terakhir dari krisis iklim.

"Benteng terakhir untuk menyelamatkan kita dari krisis iklim. Jadi pilihannya menyelamatkan hutan atau punah," tegas Sekar.

Sebelumnya, Komnas HAM telah menerima pengaduan masyarakat Suku Awyu Papua Selatan terkait dugaan pelanggaran HAM berupa pencaplokan hutan adat oleh perusahaan kelapa sawit.

Baca Juga: Gugatan Perusahaan Sawit ke KLHK, Ahli: Status Hutan Bisa Diubah

Suku Awyu menolak keras pencaplokan itu, karena hidup mereka sangat bergantung pada hutan. Jika hutan yang merupakan 'rumah' mereka hilang, maka penghidupan mereka juga akan terganggu.

"Mereka meminta supaya perusahaan yang sedang menggugat pemerintah karena SK-ya dicabut supaya tidak dilanjutkan. Kita tentu berada di pihak masyarakat, masyarakat harus dilindungi, hutan harus dilindungi," ujar Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian di Kantor Komnas HAM, Selasa (8/5).