Gugatan Perusahaan Sawit

Gugatan Perusahaan Sawit ke KLHK, Ahli: Status Hutan Bisa Diubah

Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu Papua hampir sampai di babak terakhir. 

Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu Papua (Foto: Andi M/apahabar.com)

apahabar.com, JAKARTA - Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu Papua hampir sampai di babak terakhir. 

Persidangan kali ini, kuasa hukum masyarakat suku Awyu menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro. Totok hadir sebagai saksi ahli dalam agenda mendengarkan pendapat ahli dari pihak tergugat.

Untuk diketahui, Sekitar 8.828 hektare hutan adat mereka diserobot dua perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.

Dua perusahaan itu sebenarnya telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar lewat Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.

Baca Juga: Komnas HAM Klaim Dukung Upaya Lindungi Hutan Adat Suku Awyu Papua

Tidak terima dengan keputusan Menteri LHK itu, kedua perusahaan kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka menggugat keputusan Menteri LHK.

Pada kesempatan itu, saksi ahli ditanyakan soal perubahan regulasi Kehutanan oleh tergugat. Ahli ditanya soal Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 yang digantikan dengan UU Cipta Kerja.

Ia menyebutkan, ada beberapa turunan aturan baru dalam UU Cipta Kerja yang menggantikan PSDH sebelumnya. Salah satunya adalah perubahan kawasan hutan yang dibutuhkan karena alasan kepentingan ekonomi nasional.

"Konteksnya, ketika kawasan hutan itu dibutuhkan untuk kepentingan lain di luar sektor hutan, misalnya mengembangkan perokonomian. Nah kawasan itu dimungkinkan dilepas, dalam arti dia bebas statusnya dari kawasan hutan," ujar Totok di PTUN, Jakarta Timur, Selasa (1/8).

Baca Juga: Masyarakat Suku Awyu Adukan Perusahaan Sawit ke Komnas HAM

Ia melanjutkan, dalam PP 2010 Juncto 12 tahun 2012, terdapat beberapa tahap mulai dari permohonan, persetujuan, hingga penetapan pemberian izin pelepasan kawasan hutan.

Pada kesempatan itu, tergugat juga menyanyakan tentang mekanisme evaluasi oleh pemerintah terkait pelepasan status kawasan hutan. 

"Ini tidak serta merta menghilangkan kewenangan otoritas. Memang secara status lepas dari kawasan hutan, tapi bukan berarti di situ kewenangan otoritas kemudian menjadi tidak ada," tegasnya.