Saksi Sidang Maming: Fee 10 Persen Hanya Cerita Mendiang Henry Soetio! 

Terdapat fakta dalam kasus dugaan suap mantan Bupati Tanah Bumbu (Tanbu), Mardani H Maming di Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin, Kamis (17/11) kemarin.

Haris adalah satu dari enam saksi yang dihadirkan jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di persidangan. Foto-apahabar/Bani

apahabar.com, BANJARMASIN - Terdapat fakta dalam kasus dugaan suap mantan Bupati Tanah Bumbu (Tanbu), Mardani H Maming di Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin, Kamis (17/11) kemarin.

Dalam persidangan, saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdul Haris mengaku jika fee Rp10 ribu per metrik ton diketahuinya berdasarkan cerita mendiang Henry Soetio.

"Henry Soetio mengatakan 10 ribu per metrik ton untuk bupati. Seingat saya produksi batu bara 150 ribu ton per bulan atau sekitar Rp1,5 miliar per bulan," ucap JPU KPK membacakan BAP Haris.

Haris tercatat sebagai Person In Charge (PIC) pelabuhan PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) sejak 2012-2014. Ia juga sebagai badan perizinan PT PCN sejak 2014-sekarang.

Sedangkan Henry Soetio adalah direktur dari PT PCN. Henry meninggal dunia pada Juli 2021.

PT PCN merupakan perusahaan yang bergerak pada sektor pertambangan batu bara di Tanbu. Namun, saat ini failed lantaran terlilit utang triliunan rupiah.

Perusahaan itu juga memiliki pelabuhan bernama Angsana Terminal Utama (ATU) yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 30 hektare, berlokasi di Kecamatan Sungai Loban, Tanbu.

Meski begitu, pelabuhan ATU tidak sepenuhnya milik PT PCN. Sahamnya hanya 70 persen di sana. Sementara saham 30 persen lainnya dimiliki PT Trans Surya Perkasa (TSP).

Di persidangan, Haris mengaku bergabung bersama PT PCN pada Juli 2012 silam. Ia masuk ke PT PCN lantaran ditawari Henry Soetio.

Singkat cerita, Haris dipercaya menangani pembangunan pelabuhan ATU yang saat itu sudah hampir rampung. 

"Saya join pembangunan sudah 70 persen," kata Haris.

Segala tetek bengek terkait pelabuhan Haris yang mengurus. Progres pembangunan selalu dilaporkan ke Henry selaku atasan.

Hingga akhirnya, pembangunannya dinyatakan beres 100 persen pada November 2012.

Haris terus menjadi orang kepercayaan Henry untuk mengurusi pelabuhan ATU, termasuk pembagian keuntungan dari bisnis tersebut.

Di persidangan, Haris mengungkapkan, pernyataan Rp10 ribu per metrik ton untuk bupati didengarnya dari Henry pada 2014. 

Ia juga mengaku pernah mendengar bahwa Henry mengatakan PT TSP yang juga memiliki saham 30 di pelabuhan ATU merupakan perusahaan milik Maming. 

"itu saya dijelaskan secara lisan oleh pak Henry," jelasnya.

Atas dasar itulah Haris beranggapan bahwa Rp10 ribu per metrik ton untuk bupati itu adalah fee dari 30 persen saham PT TSP. 

Menariknya itu anggapan yang dia refleksikan sendiri. Tanpa adanya dasar. Ini terungkap ketika Haris dicecar hakim anggota Arif Winarno.

"Jadi anggapannya ini kan sebuah kerja sama pemilik saham. Saya melihatnya ada ATU sebagai perusahan, pemegang sahamnya saling bagi keuntungan," kata Haris.

"Saya sebagai orang korporat yang mengerti, ini merupakan refleksi dari yang 30 persen itu," lanjutnya.

Lantas hakim anggota lain, Ahmad Gawi menanyakan apakah memang ada perjanjian soal fee Rp10 ribu per metrik ton itu ke Haris? 

Namun Haris mengatakan perjanjian itu tidak ada. Yang dia tahu hanya soal kepemilikan saham pelabuhan ATU 70 persen milk PT PCN dan 30 persen milik PT TSP.

"Artinya saksi tak bisa membuktikan 10 ribu itu memang benar merupakan refleksi uang bagi hasil 30 persen?" Tanya Gawi.

"Tidak bisa pak," jawab Haris.

Lain halnya hakim anggota Jamser Simanjuntak yang membuat pernyataan menohok atas seluruh keterangan Haris.

Di mana seluruh keterangan Haris hanyalah cerita yang dia dengar dari Henry Soetio yang sudah meninggal dunia pada Juli 2021 lalu.

"Artinya kebenaran cerita anda hanya anda yang tahu dan juga Tuhan. Iya, karena kami tak bisa lagi konfirmasi ke Henry," kata Jamser.

Sementara itu, penasihat hukum yang mendampingi Maming mengikuti sidang secara virtual dari kantor KPK di Jakarta hanya memastikan ke Haris apakah soal Rp10 ribu per metrik ton fee untuk jasa pelabuhan ATU atau hasil tambang PT PCN?

Yang kemudian dijawab Haris bahwa fee tersebut merupakan untuk jasa pelabuhan yang sebelumnya dimiliki Maming.

"Itu fee jasa pelabuhan," kata Haris.

Adapun Maming yang diberikan kesehatan majelis hakim untuk bertanya, menanyakan soal apakah Haris pernah melihat bukti pengiriman fee Rp10 ribu per metrik ton tersebut.

Atas pertanyaan itu Haris mengatakan bahwa dirinya tak pernah melihatnya.

"Tidak pernah. Saya tidak pernah lihat itu pak," jawab Haris.

Dalam kesempatan itu, Maming juga menjelaskan ada kebiasaan Henry yang sangat dia ingat. Soal panggilan 'pak bupati'. Walaupun yang dituju adalah perusahaan milik Maming.

"Henry kalau ke perusahaan selalu menyebut bupati. Saya berhenti jadi bupati pun dia masih menyebut bupati. Ngirim duit ke pelabuhan, dia selalu nyebut kirim ke bupati. Padahal itu murni bisnis to bisnis perusahaan. Tapi selalu menyebut bupati," jelas Maming.

Maming menilai bahwa pernyataan Rp10 ribu per metrik ton itu ke bupati hanyalah kata-kata yang kemudian disalahpahami. Sehingga menjadi pendapat bahwa duit itu ditujukan untuk pribadi 

"Menurut saya yang salah adanya duit ke bupati. Saya tak pernah menerima duit dari Henry atas pribadi saya yang mulia," pungkas Maming.

Saksi Nggak Tahu Apa-apa

Sidang kedua Mardani Maming yang berlangsung selama sebelas jam, telah usai digelar. Agenda sidang kali ini yakni mendengarkan keterangan saksi soal prosedur-prosedur perizinan tambang.

Dalam hal ini, tim kuasa hukum MHM Dendy Zuhairil Finsa mengatakan mereka mencermati dengan teliti seluruh kesaksian para saksi terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam kasus yang menjerat Mardani Maming.

“Sidang tadi membahas kesaksian soal prosedur-prosedur, terutama prosedur IUP,” ujar Dendy saat ditemui di Gedung KPK, Kamis (17/11).

Dendy mengungkapkan dalam keterangan para saksi yang dihadir, sama sekali tidak ada yang mengetahui persoalan prosedur Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang didakwakan kepada mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut.

“Kan kita tanyakan tadi di sidang, apa para saksi tau? Ternyata kan pada nggak tau,” tambahnya.

Dendy sendiri tidak banyak berkomentar soal hasil sidang kedua MHM. “Saya tidak mau banyak komentar, nanti saja,” tandasnya.

Selanjutnya, Dendy menyampaikan jika Mardani Maming akan kembali menjalani sidang hari Kamis 24 November dan Jumat 25 November.

“Kita sidang lagi nanti minggu depan, dua hari berturut-turut Kamis dan Jumat,” imbuhnya.

Sidang ketiga dan keempat nanti akan kembali menghadirkan 15 saksi dari 43 saksi.

“Iya besok ada 15 orang, dibagi dua. 10 orang hari Kamis, 5 orang hari Jumat,” terang Dendy.

Soal dua saksi yang tidak hadir hari ini yakni Idham Chalid dan Suroso Hadi Cahyo, keduanya akan hadir di persidangan selanjutnya.

“Mereka berdua akan hadir di sidang selanjutnya. Tadi kan mereka nggak hadir karena virtual, jadi diganti hari esok,” pungkasnya.