Merdeka Dalam Keberagaman

Fana Kebebasan Beragama di Indonesia

Dua tahun silam, institusi itu berulang kali menegur seorang siswinya yang tak kunjung mengenakan hijab –padahal dia non-muslim.

Umat Muslim mengunjungi Gereja Katredal usai melaksanakan salat Iduladha di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (29/6). apahabar.com/Andrey

apahabar.com, JAKARTA - Masih lekat dalam ingatan betapa dunia pendidikan diguncangkan dengan peraturan salah satu sekolah di Sumatera Barat. Dua tahun silam, institusi itu berulang kali menegur seorang siswinya yang tak kunjung mengenakan hijab –padahal dia non-muslim.

Kejadian demikian itu hanyalah satu dari sekian banyak kasus intoleransi yang menuai perhatian Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Lembaga ini, bersama organisasi lainnya, turut mendampingi korban dalam memperjuangkan hak kebebasan beragamanya.

Lima belas tahun lamanya, SEJUK terus berkutat dengan perkara serupa. Gundukan kasus intoleransi, seperti penutupan rumah ibadah, bukan lagi barang baru bagi mereka.

Baca Juga: Ganjar Apresiasi Sikap Toleransi Warga Selama Perjalanan Biksu Thudong ke Indonesia

Malahan, menjelang ulang tahun kedaulatan Indonesia, lembaga itu masih disibukkan dengan perihal penggusuran rumah ibadah kelompok minoritas.

“Yang terbaru sih itu (penggusuran tempat ibadah) di Batam seminggu yang lalu,” ungkap Direktur SEJUK, Alex Junaidi kepada apahabar.com, Rabu (16/8).

Alex tak habis pikir; bagaimana bisa negara yang sudah 78 tahun merdeka, tapi segelintir warganya masih tak diberi kebebasan beragama. Pemerintah pun terbilang lamban dalam mengatasi kasus-kasus intoleransi.

Para pemangku kuasa seolah tak kunjung mengambil langkah tegas. Manakala kekerasan menimpa kaum minoritas, pemerintah justru mendiskriminasi mereka, alih-alih menangkap pelakunya.

Baca Juga: Indahnya Toleransi, Umat Islam Salat Idulfitri di Depan Gereja Koinonia

Sekalipun memberi solusi, minoritaslah yang harus mengalah: rumah ibadah mereka direlokasi ke tempat lain.

“Mereka (kelompok minoritas yang tergusur) tidak punya tempat mengadu. Mereka pasti ada perasaan takut untuk melapor. Padahal, rata-rata kelompok minoritas yang ada di daerah itu lahir di sana, jadi mereka juga ada keinginan bertahan dan beribadah di tanah mereka,” tutur Alex.

Foto kolase: apahabar.com/Fahriadi Nur

Alex bahkan menilai kelompok minoritas merasa takut kalau harus melawan mayoritas, sebab mereka kerap punya bekingan politisi yang kuat. Pada beberapa kasus intoleransi, politik memang menjadi salah satu faktor pemicunya.

“Biasanya kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas meningkat ketika ada event-event pemilu. Jadi, ada kesengajaan politik untuk menarik suara kelompok mayoritas dalam untuk kepentingan pemilu,” imbuhnya.

Baca Juga: [EDITORIAL] Merdeka dalam Keberagaman

Akibatnya, kelompok minoritas sangsi terhadap pemangku kuasa; mereka merasa sendirian, tak ada yang membelanya. Mereka berpikir dua kali bila harus melaporkan kasus intoleransi pada pihak berwajib. SEJUK pun menjadi alternatif tempat untuk mereka mengadu.

Namun, sampai kapan kelompok minoritas harus menyembah Tuhan dalam ketakutan? Alex berharap pemerintah akan konsisten menindak tegas pihak yang melakukan pelanggaran. Pemerintah juga perlu melakukan dialog guna memfasilitasi forum mayoritas dengan minoritas agar tidak ada upaya kekerasan