Merdeka Dalam Keberagaman

[EDITORIAL] Merdeka dalam Keberagaman

SEJATINYA negara sudah menjamin hak keberagaman warga di negeri ini. Namun kemerdekaan sejati nyatanya belum menyentuh semua lapisan golongan sekalipun usia rep

Ribuan umat Islam saat melaksanakan salat Idulfitri di depan Gereja Koinonia Jatinegara, Jakarta, Sabtu 22 April 2023. apahabar.com/Micko

SEJATINYA negara sudah menjamin hak keberagaman. Namun kemerdekaan sejati nyatanya belum menyentuh semua lapisan golongan sekalipun usia republik ini telah menginjak 78 tahun.

Merdeka itu sederhana. Nyaman. Termasuk urusan keberagaman. Lantas senyaman apa menjalaninya saat ini? Mari kita lihat bersama.

Di Bekasi ada satu cerita. Umat Kristen dibubarkan warga saat menjalankan ibadah di rumah doa. Peristiwa tak nyaman ini terjadi beberapa waktu tadi. Di Rumah Doa Cahaya Fajar Pengharapan. Lokasinya di Graha Prima Baru, Blok S2, Mangunjaya, Tambun Selatan. Alasan pembubaran tak nyaman untuk ditulis. Anda pasti paham.

Dari Bekasi, mari bergeser ke Solo. Di sini kasus serupa juga terjadi. Bahkan lebih ruwet. Ada gereja yang dilarang dibangun. Kawasannya tak perlu disebut.

Kasus-kasus serupa juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Memang, ada yang sudah selesai. Tapi tak sedikit hanya sekadar teredam. Di Sumatera Barat, misalnya, seorang siswi non-muslim sempat ditegur lantaran tak menggunakan hijab.

Sampai di sini, coba tarik napas sejenak. Siapa tahu Anda sudah menemukan jawaban pertanyaan di atas. Mari lanjut membaca. Cerita lain dimulai dari Depok.

Foto kolase: apahabar.com/Fahriadi Nur

Tapi disclaimer dulu. Tulisan ini tak berbicara soal akidah. Hanya mengenai cara segelintir kelompok di Indonesia dalam menjalani kehidupan sosial beragama.

Di Depok ada masjid yang disegel. Namanya Al-Hidayah. Bahkan oleh pemerintah setempat. Padahal, bangunannya legal. Berizin. Ada IMB-nya. Lantas apa yang salah? Jika mengambil sudut pandang sosial, jawabnya; tak ada. Karena bukan rumah judi. Tapi tempat ibadah. Yang kebetulan dikelola oleh Ahmadiyah.

Merdeka dalam keberagaman juga belum akrab di Islamic Cultural Center. Di pusat aktivitas ritual Syiah tersebut, aksi diam-diam seorang warga yang merekam peringatan Asyura berbuah cacian ke kelompok ini.

Anggapan minor juga masih menyasar penganut Ahmadiyah. Kelompok yang aktif menggalang donor darah tiap bulannya -setidaknya selama satu dasawarsa terakhir- tak kunjung lepas dari label sesat.

Hak beragam katanya berlaku di mana saja. Tapi, Jawa Barat dipandang masih menjadi zona merah bagi kelompok ini. Sekadar beribadah di rumah ibadah mereka sendiri saja susah. Buktinya, api menyala dan menghanguskan beberapa rumah ibadah mereka di Cianjur, 2005 silam.

Kasus penolakan rumah ibadah sejatinya bukan hanya dialami umat Kristiani seperti yang terjadi di Bekasi. Pada 2015 lalu, sekelompok massa membakar dan melempari batu rumah ibadah umat muslim di Tolikara, Papua.

Memerdekakan kelompok minoritas menjadi pekerjaan rumah pemerintah saat ini. Pemerintah harus memberi jaminan keamanan dan ketentraman lebih kepada mereka yang berbeda 'warna' dengan sebagian masyarakat yang ada.

Lebih dari itu, persoalan juga bukan semata pada kemerdekaan beragama yang sudah dijamin haknya oleh pemerintah. Tapi berpangkal pada hal-hal mendasar seperti ketimpangan ekonomi, sosial dan pendidikan.

Maka merdeka saat ini tak cukup hanya sekadar seremoni namun juga harus secara ekonomi seperti juga yang didambakan penganut aliran kepercayaan di Toba maupun Kotabaru. (*)

Untuk membaca seluruh artikel liputan fokus 'merdeka dalam keberagaman', klik tautan ini