Dugaan Kartel Minyak Goreng

Dugaan Kartel Minyak Goreng, LKPU-UI: Bukti Hukumnya Lemah

LKPU-UI mengungkapkan bukti yang digunakan KPPU dalam kasus dugaan kartelisasi minyak goreng masih telalu lemah.

Direktur Eksekutif LKPU-UI, Ditha Wiradiputra (tangah) dalam Seminar Kajian Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan Di Indonesia. Foto: aoahabar.com/Gabid Hanafie

apahabar.com, JAKARTA – Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-UI) mengungkapkan bukti yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus dugaan kartelisasi minyak goreng masih telalu lemah.

Hal itu disampakan Direktur Eksekutif LKPU-UI Ditha Wiradiputra dalam Seminar Kajian Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan Di Indonesia.

“Kita lihat Alat bukti pertama KPPU adalah adanya akumulasi pertemuan oleh pelaku usaha di asosiasi,” ujarnya di Gedung IASTH, Jakarta Pusat, Senin (3/4).

Pertemuan pelaku usaha

Ditha menilai alat bukti yang digunakan KPPU terkait temuan tersebut masih belum memadai. Alasannya, KPPU tidak memiliki isi dari pertemuan yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut.

Baca Juga: Terciptanya Iklim Usaha Berkeadilan, Jatim Sabet Dua Penghargaan di KPPU Award 2023

“Padahal undang-undang persaingan usaha itu tidak melarang pelaku usaha untuk bertemu atau berkumpul di dalam suatu asosiasi,” kata Ditha.

Pelaku usaha diperkenankan untuk berkumpul dan membentuk asosiasi, selama dalam pertemuan tersebut tidak membahas terkait pembentukan harga. Namun, lain soal jika terjadi koordinasi oleh para pelaku usaha dalam rangka mengurangi adanya persaingan di dalam pasar, hal itu masuk kategori pelanggaran.

“Tapi, kalau pertemuan dianggap sebagai bukti kesepakatan, sebentar lagi orang tidak akan berani berkumpul di Kadin atau kumpul di asosiasi lain. Bahkan sampai takut ikut undangan buka bersama (bukber),” jelasnya.

Kemudian, bukti kedua KPPU adalah terjadinya kenaikan harga minyak goreng oleh pelaku usaha. Menurut Ditha, hal itu tidak diatur dalam undang-undang khususnya terkait pelaku usaha yang menaikan harga.

Baca Juga: Bapanas Terbitkan Regulasi Soal Cadangan Gula dan Minyak Goreng

“Undang-undnag hanya melarang adanya koordinasi oleh pelaku usaha untuk menentukan harga,” paparnya.

Kenaikan harga

Ditha menjelaskan, hal yang perlu diperhatikan jika terjadi kenaikan harga oleh pelaku usaha, maka itu terjadi secara kebetulan. Menurut Ditha, banyak faktor yang mendorong pengusaha untuk menaikan harga. Salah satunya adalah kenaikan harga komoditas CPO.

Selama ini, harga minyak goreng sangat bergantung pada komoditas CPO. Sehingga ketika komoditas CPO mengalami kenaikan harga, otomatis akan berpengaruh terhadap biaya produksi dari pembuatan minyak goreng .

“Sama halnya seperti kenaikan harga minyak dunia, maka pengusaha SPBU kemungkinan besar akan menaikan harga jual dari produk bbmnya. Kenaikan yang mereka lakukan juga hampir secara bersamaan,” ucap Ditha.

Baca Juga: Minyak Goreng Curah Bakal Hilang di Pasaran? Cek Faktanya!

Pengusaha menaikan harga sebagai respon terhadap kenaikan harga komoditas. Tujuannya untuk menjaga kestabilan biaya produksi oleh perusahaan. Di sisi lain, pengusaha menjual produk dari komoditas yang sama sehingga wajar jika terjadi kenaikan harga secara bersamaan.

Sementara itu, Pasal 5 dan Pasal 19 huruf C Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dipersoalkan adalah adanya kesepakatan harga oleh para pengusaha.

“Sehingga alat bukti yang digunakan KPPU bisa dikatakan tidak cukup kuat untuk menetapkan pelaku usaha melakukan price fixing,” jelasnya.

Sebelumnya, KPPU mengungkap adanya dugaan kartel, pasca ditemukannya segelintir perusahaan yang menguasai sebagian besar lahan sawit di Indonesia. Hal itu menjadi sinyal adanya praktik kartelisasi terkait harga dan pasokan minyak goreng di sisi hilir. Sebab, ketika perusahaan terintegrasi hulu-hilir, maka dengan mudah dapat mempengaruhi pasar di hilir.