Di Tengah Krisis Iklim, WALHI: Ada Proyek Gelap Oligarki

Ditengah krisis iklim yang sedang terjadi, Walhi melihat upaya pengurangan emisi karbon yang berlangsung justru berujung pada proyek gelap oligarki.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempersiapkan bursa perdagangan karbon yang ditargetkan meluncur pada September 2023 dan akan dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Salah satu yang sedang disiapkan adalah peraturan dan mekanisme perdagangan karbon di BEI. Foto: dunia-energi.com

apahabar.com, JAKARTA - Ditengah krisis iklim yang sedang terjadi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melihat upaya pengurangan emisi karbon yang berlangsung justru berujung pada proyek gelap oligarki.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian menilai kebijakan perdagangan karbon yang mulai diberlakukan pada September 2023 sebagai langkah yang sarat kepentingan.

Terbukti dari banyaknya perusahaan yang mulai aktif memberikan nota kesepahaman dengan masyarakat di sejumlah daerah terkait penyelenggaraan perdagangan karbon.

"Padahal, masyarakat belum banyak mengetahui dengan jelas skema ataupun manfaat dari perdagangan karbon ini," terang Uli dalam diskusi Perdagangan Karbon Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim di Jakarta, Jumat (4/5).

Baca Juga: Perdagangan Karbon, WALHI: Jawaban Krisis Iklim Sarat Masalah Etik

Selain itu, perdagangan karbon tidak menjawab akar permasalahan krisis iklim. Yang terjadi, perdagangan karbon merupakan upaya untuk mencari keuntungan oleh para pengusaha.

Emisi karbon yang merupakan penyebab utama dari pemanasa global telah berubah menjadi komoditas yang menjanjikan. "Ini semacam perdagangan krisis. Mereka (oligarki) menawarkan solusi palsu untuk mencari keuntungan," tegasnya.

Karena itu, menurut Uli, perdagangan karbon merupakan jalan sesat dalam mengatasi kritis iklim. Alasannya, situasi krisis iklim hari ini merupakan proses dari akumulasi pembongkaran dan pelepasan karbon yang terjadi sudah sejak lama.

"Itu (pembongkaran dan pelepasan emisi fosil) mengakibatkan emisi gas rumah kaca mengendap di atmosfer," paparnya.

Baca Juga: Walhi Ingatkan Pemerintah Aceh Waspadai Puncak El Nino

Krisis iklim yang terjadi sekarang dipastikan oleh sumbangan emisi dari negara-negara maju ketika revolusi industri terjadi pertama kali. Sementara dalam konteks pertemuan iklim, terang Uli, awalnya negara-negara maju dimasukkan ke dalam kategori annex I, atau dikenal sebagai negara pengemisi atau emitor terbesar.

"Ada sekitar 40-an negara dan Amerika salah satunya yang terbesar," ungkap Uli.

Menyikapi situasi itu, perundingan-perundingan di dunia digelar secara terencana. Tujuannya demi menekan volume emisi yang terlepas ke udara. Hal itu dilakukan dengan mengeluarkan prasyarat kesimbangan karbon antarnegara.

Dengan begitu, aktivitas pelepasan dan pembongkaran emisi oleh negara maju bisa tetap berlanjut. "Ini celaka untuk negara berkembang, khususnya Indonesia," jelas Uli.

Baca Juga: Perdagangan Karbon, AMAN: Kolonialisme Baru bagi Masyarakat Adat

Menurut Uli, kebijakan itu memunculkan ketidakadilan, karena negara berkembang diminta ikut bertanggungjawab atas hal yang tidak mereka lakukan. Negara berkembang kemudian diminta untuk menjaga hutannya.

"Oke negara berkembang, kamu jaga hutanmu ya..., kita kasih uang aja nih," terangnya.

Pemerintah Indonesia kemudian menangkap sinyal itu dengan melakukan kebijakan yang ditawarkan kepada banyak perusahaan. Kebijakan itu merupakan konsesi konservasi kepada perusahaan yang bersedia menjaga hutan.

"Dulu ada proyek REDD, REDD+, sekarang istilah barunya Nature Base Solution," paparnya.

Baca Juga: Program JETP, IESR; Target Utamanya Mengatasi Krisis Iklim

Uli lalu mempertanyakan dengan menyebut, bukankah tindakan itu sungguh bertolak belakang, ketika pemerintah menempatkan hutan sebagai komoditas baru untuk menanggung konsekuensi dari pelepasan karbon oleh negara-negara Utara.

"Seharusnya setiap negara punya hak untuk mencari solusi, sesuai dengan konteks negaranya," jelas Uli.

Lebih jauh, Uli mengungkapkan, penerapan perdagangan karbon lebih terkesan sebagai upaya dari perusahaan untuk mencitrakan dirinya ramah lingkungan kepada publik.

"Seharusnya pemerintah mulai tegas untuk menghentikan kegiatan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Semua pihak perlu didorong untuk mengurangi konsumsi energi fosil, daripada mengizinkan industri melepas emisi dengan perdagangan karbon," tandasnya.