Dewan Pers Punya Peran Penting Tangani Kasus Kekerasan Seksual Pada Jurnalis

Ketimpangan pemahaman dan insensitivitas terhadap gender turut berkontribusi memperlonggar jaring pengaman bagi jurnalis.

Ilustrasi protes terhadap kekerasan terhadap jurnalis yang sering terjadi. Foto-Ist

apahabar.com, JAKARTA - Kasus kekerasan seksual belakangan ramai jadi bahan pembicaraan, setelah kasus pelecehan seksual yang dialami salah satu jurnalis apahabar.com pada Rakernas Partai Ummat pada Selasa, (14/2) merebak.

Menanggapi hal tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjelaskan jika pelecehan seksual pada jurnalis bisa terjadi karena beberapa faktor. 

Divisi Gender AJI, Dyah Ayu Pitaloka mengatakan Indonesia berkesempatan untuk berbagi hasil temuan AJI dalam tragedi kekerasan seksual yang kerap menimpa jurnalis di saat melakukan tugas di lapangan.

Baca Juga: Partai Ummat Deklarasikan Dukungan untuk Anies Baswedan

Ia menjelaskan jika lingkungan yang maskulin dan ketimpangan literasi menjadikan persoalan gender jadi salah satu problematika yang cukup serius.

"Dari diskusi selama mendampingi kekerasan seksual terjadi karena tiga hal, yang pertama karena budaya patriarkis dan (dunia) jurnalis ini kan sangat maskulin jadi topik soal kekerasan seksual apa itu kekerasan seksual jadi budaya yang baru,” ungkapnya kepada apahabar.com, Rabu (15/2). 

Selain itu normalisasi kasus kekerasan seksual juga jadi perihal lain. Ketimpangan pemahaman dan insensitivitas terhadap gender turut berkontribusi memperlonggar jaring pengaman bagi jurnalis.

Baca Juga: Kronologi Pelecehan Seksual Jurnalis apahabar.com di Rakernas Partai Ummat

Namun, dalam kondisi yang serba timpang tak jarang seorang korban mulai berani menyuarakan apa yang terjadi. Hal ini menurutnya perlu diakui sebagai kemajuan dalam kehidupan sosial di Indonesia yang masih patriarkis.

“Di satu AJI sendiri, satu AJI kota pun sudah berbeda dengan yang lain, pemahamannya tentang gender dan seksualitas, namun di kondisi yang serba timpang itu beberapa korban sudah mulai berani untuk menyuarakan apa yang terjadi, nah ini yang perlu diapresiasi,” ungkap Pitaloka.

Membangun lingkungan yang aman bagi korban adalah kerja kolektif yang harus dibangun oleh siapa saja. Karena menurut Pitaloka jika lingkungan belum terbangun dengan baik, maka akan jadi sulit bagi korban untuk segera pulih.

“Ini kemudian yang jadi pekerjaan kita, bagaimana merespon hal yang sudah terjadi tanpa menempatkan korban menjadi korban lagi,” imbuhnya. 

Baca Juga: Partai Ummat Usung Politik Identitas, Bawaslu: Jangan Gunakan Masjid untuk Kampanye!

Mulai dari pekerja media, pemilik perusahaan media, hingga Dewan Pers punya peran penting dalam menjalankan lingkungan yang aman bagi jurnalis untuk bekerja.

“AJI melihat peran Dewan Pers dalam penanganan penyelesaian kasus KS terhadap jurnalis memang sangat penting, tidak mungkin AJI bekerja sendiri, Dewan Pers punya pengaruh yang lebih besar,” tuturnya. 

Sementara itu, dalam laporan terbaru AJI Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan didukung International Media Support (IMS), sebanyak 82,6% responden menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang melakukan kegiatan jurnalistik.

Baca Juga: Drama Panjang Partai Ummat hingga Ditetapkan Jadi Peserta Pemilu

Riset berjudul "Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia" itu mensurvei 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi pada September - Oktober 2022.

Hasilnya sebagian besar yakni 704 responden (82,6%) menerima kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Hanya 148 responden atau 17,4% yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apa pun dalam karier jurnalistik mereka.

 Dari jumlah yang pernah mendapat kekerasan seksual tersebut, mayoritas (37%) mengalaminya di ranah daring sekaligus luring, dengan rincian di ranah dari sebesar 26,8% dan luring 18,2%. 

Baca Juga: Tak Ada Bukti Visum Kekerasan Seksual, Ahli Pidana: Bisa Dicek Psikologis Korban

Dari data tersebut, setidaknya ada 10 jenis kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis perempuan yakni. Body shaming secara luring (58,9 persen), Catcalling secara luring (51,4 persen), Body shaming secara daring (48,6 persen), Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2 persen).

Selanjutnya ada sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3 persen), Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36 persen), Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1 persen), Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2 persen), Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8 persen) dan dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6 persen).