Transisi Energi

Celios Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Soal Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Celios pertanyakan keseriusan pemerintah menuju transisi energi hijau ketika dinilai tidak konsisten soal keputusan mempensiunkan PLTU batu bara.

PLTU Kalselteng 2 di Tanah Laut. Foto-PT PLN

apahabar.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menuju transisi energi hijau. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak konsisten soal keputusan mempensiunkan PLTU batu bara.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan akan menutup seluruh PLTU batubara pada tahun 2025, yang kemudian diklarifikasi menjadi 2050. Terlepas dari revisi pada tahun pensiun dini PLTU dilakukan, disaat yang bersamaan pemerintah ternyata masih mengizinkan pembangunan PLTU batu bara yang bersifat captive di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

Sebagai gambaran, salah satu perusahaan swasta yang bergerak di pertambangan batu bara menjadi pemain utama dengan proyek smelter aluminium senilai US$728 juta di KIHI.

Sementara perusahaan China, Tshingshan diberitakan siap mengeluarkan dana US$28 miliar untuk pembangunan smelter nikel. Kedua perusahaan ini tidak luput dari kontroversi.

Baca Juga: Skema Tarik Salur Batu Bara Masih Terkendala PPN, ESDM Pastikan Maret Ini Rampung

"Para pemain di sektor hilirisasi mineral tersebut selama ini memiliki reputasi yang buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup," kata Peneliti Celios, Atinna Rizqiana dalam keterangan resminya yang diterima apahabar.com, Rabu (26/4).

Pernyataan menarik dari Hannover juga terjadi saat Presiden Jokowi sempat menyatakan bahwa pada tahun 2023 jumlah energi terbarukan di Indonesia berada di titik 23%. Angka ini merujuk pada target bauran energi 'baru' terbarukan (EBT) di tahun 2025.

Kenyataannya, pada tahun 2023 bauran EBT tercatat baru mencapai 13%, atau hanya naik 1,5% dari jumlah bauran energi terbarukan dua tahun sebelumnya, tahun 2021, yakni 11,5%.

"Secara realistis patut kita bertanya, apakah mungkin dalam dua tahun ke depan (2025) peningkatan 10% porsi EBT mampu kita capai?" lanjutnya.

Baca Juga: Matangkan Skema JETP, PLN Gandeng IEA dalam Akselerasi Transisi Energi

Selain masalah target bauran EBT yang tidak sinkron dengan kondisi ideal, upaya untuk melakukan penutupan total PLTU juga dipertanyakan. Buktinya dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 - 2030, PLN masih menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 GW.

Ditambah lagi adanya beberapa PLTU captive (kawasan) yang akan dibangun secara serentak di berbagai wilayah smelter nikel dan aluminium seperti di Morowali, Weda Bay, hingga Kalimantan Utara.

Senada, Direktur Kebijakan Pertambangan CELIOS Wishnu Try Utomo mengungkapkan selain PLTU captive, penutupan total PLTU batu bara ikut terhambat dengan adanya metode co-firing yang kenyataannya hanya mengurangi jumlah penggunaan batu bara sebesar 5% - 10%.

Metode itu justru memperbesar potensi deforestasi karena kebutuhan biomassanya yang terlalu tinggi, "Belum lagi adanya upaya memperpanjang usia PLTU yang seharusnya sudah layak dipensiunkan." terangnya.

Baca Juga: Indonesia Dukung Dedolarisasi, Celios: Menghambat Aktivitas Ekspor

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai hal itu sebagai upaya yang ingin menggambarkan Indonesia siap untuk menampung dana investor kakap seperti BASF-VW untuk berinvestasi di industri baterai.

Tapi banyak yang masih meragukan terkait komitmen pemerintah dalam meningkatkan perlindungan lingkungan hidup, dan komunitas setempat.

Padahal investor sekelas BASF-VW memiliki ESG (Environment, Social and Governance) yang ketat dan terus menerus diaudit. "Sehingga satu gram saja campuran nikel pada baterai mobil listrik diambil dari proses pemurnian (smelter) yang bermasalah maka reputasi BASF-VW akan terpengaruh," terangnya.

Perusahaan sekelas BASF-VW pun mensyaratkan traceability atau kejelasan sumber material kritikal untuk bahan baku baterai dan komponen mobil listrik lainnya.

Baca Juga: Transisi Energi Terancam Melambat, Celios Desak Lembaga Keuangan Hentikan Pembiayaan PLTU

Dalam proses due dilligence perusahaan, tim biasanya akan dikirim untuk melacak asal usul material. Jadi masalah penggunaan PLTU kawasan menjadi krusial dalam rantai pasok BASF-VW.

"Karena itu, sebelum kita berbicara soal walk the talk seperti semangat presiden di acara Hannover Messe, ada baiknya kita bertanya dulu kesungguhan komitmen pemerintah," ungkapnya.

Lebih lanjut, Bima mempertanyakan, "Bagaimana mungkin pengembangan ekonomi hijau yang katanya berkeadilan, dilakukan dengan mempertaruhkan kelestarian lingkungan dan masyarakat di sekitar proyek?"