OTT Cilangkap

Castro Curigai Manuver KPK Tersangkakan Marsekal TNI Henri

Penangkapan Marsekal Muda Henri Alfiandi oleh KPK jadi buah bibir. Pun sikap keberatan yang ditunjukkan Mabes TNI.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (kedua kiri) bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda TNI Agung Handoko (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/07). Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA - Penangkapan Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi setelah OTT KPK di Cilangkap jadi buah bibir. Pun sikap keberatan yang ditunjukkan Mabes TNI.

TNI merasa punya aturan main sendiri dalam memproses anggotanya. Sedangkan, KPK berwenang menindaklanjuti laporan masyarakat terkait transaksi suap dalam pengadaan alat deteksi korban reruntuhan. 

Dalam OTT di Cilangkap, KPK mengamankan delapan orang. Termasuk tangan kanan Henri, Letkol Afri Budi Cahyanto. Sementara itu, Kabasarnas Marsdya TNI Henri diumumkan tersangka oleh KPK pada jumpa pers.

Mendengar adanya jumpa pers terkait Henri, Puspom TNI kemudian mengirim tim ke KPK. Letkol Afri kemudian diserahkan ke Puspom TNI dengan status tahanan KPK beserta barang bukti uang nyaris mencapai 1 miliar rupiah.

Baca Juga: Alur Kasus KPK Tetapkan Tersangka Kepala Basarnas

Belakangan TNI yang mengaku tak diberi tahu lalu menggelar jumpa pers tandingan di Mabes TNI, Cilangkap. Sejumlah jenderal dipimpin Komandan Puspom TNI, Marsekal Marsda R Agung Handoko mendatangi KPK. Pertemuan antara petinggi KPK dengan TNI digelar. Setelah selesai, pihak KPK lalu mengaku khilaf dan meminta maaf ke TNI.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memahami semestinya penanganan kasus dugaan korupsi Marsekal Henri ditangani oleh polisi militer.

Lantas tidak bisakah KPK menyidik atau menetapkan seorang prajurit TNI sebagai tersangka tanpa memberitahu TNI?

Dimintai pendapatnya, peneliti pusat studi antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah berkata bahwa TNI tidak kebal hukum. Namun mereka tetap memiliki aturan main tersendiri. 

Baca Juga: KPK Ngaku Khilaf Tetapkan Kabasarnas Sebagai Tersangka

"Setahu saya antar-lembaga itu juga sudah ada MoU soal penanganan kasus," jelas Castro, sapaan karibnya, Jumat (28/7).

Melihat polemik yang sempat terjadi antara KPK dan TNI, Castro melihat harusnya memakai sistem peradilan koneksitas dalam menindak Henri dan Afri. 

"Jadi harusnya memang perkara ini diselesaikan dengan sistem peradilan koneksitas," jelasnya.

Suatu penanganan perkara pidana tak ubahnya jeruk makan jeruk jika hanya internal yang menangani.

"Ada potensi sulit untuk bertindak secara objektif," jelasnya.

Baca Juga: DPR Bela KPK Tetap Usut Keterlibatan Korupsi Kabasarnas

Mestinya memang diselesaikan dengan peradilan koneksitas. Dan itu, menurut Castro, sifatnya bukan opsional. "Tapi keharusan," jelasnya.

Biar tahu, penanganan perkara secara koneksitas adalah sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana. Di mana di antara pelakunya melibatkan orang sipil dengan orang yang berstatus anggota TNI.

Peradilan koneksitas, menurut Castro harus dilakukan, terlebih jika pidana korupsi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat sipil. 

Kecuali kerugiannya banyak dialami oleh pihak militer, boleh menggunakan sistem peradilan militer.

Baca Juga: TNI Keberatan Kabasarnas Tersangka KPK, ISESS: Hanya Persoalan Etik

"Tapi soal lain yang mesti kita kritik adalah, jangan sampai kedua lembaga saling intrik sehingga lupa dengan kasus Basarnas-nya. Kan itu fokus utamanya," jelas dosen hukum satu ini.

Tapi terlepas dari itu, Castro mencurigai blunder yang dilakukan KPK dalam mentersangkakan seorang marsekal TNI.

"KPK kan bukan pemain baru, sudah kerap kali berhadapan dengan masalah serupa. Mestinya paham dengan konsekuensinya," jelas dia.

Maka, menurutnya hanya ada dua kemungkinan. Pertama kualitas KPK yang sekarang memang buruk.

"Atau yang kedua; bisa jadi ini by design untuk mengalihkan isu atau perkara yang melibatkan persekongkolan elite. Misalnya perkara BTS Plate yang menyebut-nyebut beberapa petinggi partai," jelasnya.

***

KPK sedianya memiliki wewenang luas dalam menangani setiap kasus dugaan korupsi. Tak terkecuali terhadap militer.

Kewenangan terbatas KPK dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sementara kewenangan penangkapan hingga penahanan seorang prajurit TNI, berdasarkan undang-undang peradilan militer hanya boleh dilakukan oleh 3 pihak.

Yang pertama adalah atasan yang berhak menghukum, kedua polisi milter, kemudian yang ketiga adalah oditur miiter.

Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (depan). KPK sebut Kepala Basarnas menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar dari berbagai proyek. Foto: Antara

Tapi, untuk penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama kalangan sipil, KPK dan POM TNI sebenarnya dapat dilakukan secara bersama-sama melalui peradilan koneksitas.

Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum dan militer.

Baca Juga: Danpuspom TNI Persoalkan Wewenang KPK Tersangkakan Kabasarnas!

Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri atas jaksa, polisi militer, dan oditur militer. Adapun proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan oleh lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan umum dan peradilan militer.

Meminjam catatan Emerson Yuntho yang dipublish di website Indonesia Corruption Watch, peradilan koneksitas untuk kasus korupsi pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia.

Kejaksaan sudah memulai langkah ini pada 2002 dengan membentuk tim koneksitas dari unsur Kejaksaan dan TNI untuk penanganan kasus korupsi technical assistance contract antara Pertamina dan Ustraindo Petrogas.

Baca Juga: Kepala Basarnas Tersangka KPK, Mabes TNI Cuma Tahu dari Media

Kasus ini melibatkan Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri pada era Soeharto yang juga tercatat sebagai anggota TNI, serta sejumlah pejabat di Pertamina.

Contoh lainnya, pada 2006, pernah dibentuk Tim Koneksitas dalam penanganan kasus pengadaan helikopter MI-17, yang diduga merugikan negara sebesar US$ 3 juta.

Sejak berdiri pada 2003 hingga saat ini, KPK belum pernah sekali pun menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI, meski ada sejumlah laporan korupsi pengadaan kebutuhan militer yang masuk.

Komandan Puspom TNI, Marsekal Marsda R Agung Handoko saat menyambangi KPK terkait kasus suap Marsekal Henri. apahabar.com/Dian

Lembaga ini juga belum pernah membentuk tim koneksitas bersama pihak TNI untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer.

Terdapat sejumlah keuntungan jika suatu kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil ditangani secara terikat.

Pertama, lebih memudahkan koordinasi dan percepatan penuntasan kasus korupsi. Sebab, jika proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim koneksitas, tidak akan muncul istilah "bolak-balik" perkara antara penyidik dan penuntut.

Baca Juga: Puspom TNI Sebut Tetap Proses Hukum Kabasarnas Henri Meski Akan Pensiun

Kedua, proses penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, khususnya KPK, bisa lebih transparan dan akuntabel daripada yang selama ini ditangani sendiri oleh TNI.

Namun, sekali lagi, menurut Emerson, proses peradilan koneksitas dalam perkara korupsi akan sangat bergantung pada komitmen bersama dari masing-masing pemimpin KPK, panglima TNI, dan ketua Mahkamah Agung.

Penanganan kasus suap proyek Bakamla, misalnya, seharusnya menjadi momentum bagi KPK dan TNI untuk membentuk tim koneksitas untuk pertama kalinya.

Ia berharap semoga ke depan KPK lebih berani melakukan terobosan penting dengan membentuk tim koneksitas antikorupsi dan menyelesaikan kasus korupsi di tubuh militer.

KPK dan TNI seharusnya bahu-membahu dalam memberantas korupsi di Indonesia, termasuk yang melibatkan oknum militer di dalamnya.