Merdeka Dalam Keberagaman

Cara Kemenag Lawan Intoleran

Dalam konstitusi negara ini sebenarnya adil dalam urusan beragama. Tak ada pembeda. UUD 45 pasal 29 sudah menjawab. Tinggal cari cara lawan intoleran.

Istiqlal dan Katedral sebagai ikon toleransi (Foto: Harian Haluan)

apahabar.com, JAKARTA - Dalam konstitusi negara ini sebenarnya adil dalam urusan beragama. Tak ada pembeda. UUD 45 pasal 29 sudah menjawab. Tinggal cari cara lawan intoleran.

"Mandat utamanya bukan hanya menjamin, tapi memfasilitasi keberagamaan rakyat indonesia," kata Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag), Anna Hasbie, Kamis (17/8).

Di Indonesia, ada enam agama yang diakui secara konstitusi. Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Termasuk juga aliran kepercayaan nenek moyang. Semuanya dilindungi undang-undang.

Semua yang tertuang dalam UUD Pasal 29 melekat pada keenam agama ini. Artinya tak boleh ada sentimen, apalagi diskriminasi.

Bahwa ada kesan intoleran atau tak harmonis, ini masalah rasa. Urusan hubungan antar sosial. Kemenag jelas tak bisa meghakimi siapa yang salah atau benar.

Kata Anna, penegakan hukum dan aturan undang-undang hanya bisa diterapkan jika ada pelanggaran. Untuk mencontohkan, misalnya mengganggu ketertiban umum. Atau hal merugikan lainnya.

"Banyak kasus. Yang bisa lanjut ke pidana kalau memang itu pelanggaran undang-undang," jelasnya.

Bagaimana jika ada pelarangan pembangunan rumah ibadah? Di bagian ini, sekali lagi ia coba memberi pemahaman. Bahwa di Indonesia, semua agama punya hak yang sama.

"Tapi ada kasus kasus yang ternyata, itu di ranahnya pemerintah daerah misalnya. Biasanya kasus-kasus perizinan. Dan sebenarnya bukan dilarang ya. Ternyata kan memang harus diurus perizinannya," tuturnya.

Intinya, segala aktivitas keagamaan tak boleh dihambat. Asalkan tak melanggar aturan. Apakah itu undang-undang, maupun peraturan pemerintah.

"Sejatinya pemerintah ini kan punya undang-undang. Dan pemerintahan itu harus berjalan mengikuti undang-undang," imbuhnya.

Lantas, bagaimana Kemenag melunturkan kesan intoleran? Untuk bagian ini, Anna meminta media untuk menjadi pilar demokrasi. Tak sekadar memberikan informasi tapi juga pemahaman positif.

"Menurut saya media sering sekali ikut menjadi media disinformasi. Menyajikan kebenaran yang separuh itu bahaya untuk kerukunan masyarakat dan saya rasa media harus berhati hati dalam pemberitana kasus seperti itu," tutupnya.