Kasus Pelecehan Seksual

Berkaca dari Dikta, Fakta Sederet Pria yang Tak Luput dari Pelecehan Seksual

Kejadian pahit yang dialami Dikta hanya satu contoh dari sekian banyak pelecehan seksual yang menimpa pria. Pelecehan seksual terhadap pria memang nyata adanya

Ilustrasi pelecehan seksual yang dialami oleh pria. Foto: Okezone.

apahabar.com, JAKARTA - Kesempatan dalam kesempitan. Demikian ungkapan yang bisa menggambarkan pengalaman pahit Pradikta Wicaksono alias Dikta tatkala tubuhnya diraba-raba seorang penggemar di tengah kerumunan.

Pelecehan seksual itu terjadi ketika sang musisi turun dari panggung usai membawakan tiga lagu di kawasan Sarinah beberapa waktu lalu. Bak semut mengerubuti gula, segerombolan penggemar sontak berdesakkan menghampiri Dikta. 

Ekspresi Dikta yang diduga mengalami pelecehan seksual saat manggung. Foto:Grid Health.

Mereka curi-curi kesempatan untuk bersalaman, berfoto, bahkan mirisnya, meraba-raba tubuh Dikta. Meski mendapat pengawalan, diduga tetap saja ada penggemar yang nekat melecehkan sang mantan vokalis Yovie & Nuno itu.

Sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan Dikta memasuki sebuah ruangan dengan raut kesakitan. Malahan, dia kedapatan berjongkok menahan sakit di bagian bawah perutnya, usai alat vitalnya ditengarai dipegang oleh seorang penonton.

Kasus Nyata yang Sering Terlupa

Kejadian pahit yang dialami Dikta hanyalah satu contoh dari sekian banyak pelecehan seksual yang menimpa pria. Pelecehan seksual terhadap pria memang nyata adanya, tak cuma identik dengan kaum hawa semata.

Meski risikonya tak sebesar perempuan, tetap saja lelaki berpotensi menjadi korban pelecehan seksual. Miris, kekerasan seksual terhadap kaum adam, menurut Indonesia Judicial Research Society (IJRS), seringkali tidak dianggap serius.

Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan IJRS dan INFID melaporkan sedikitnya terdapat 33 persen lelaki yang mengalami kekerasan seksual pada 2020. Tindakan itu, khususnya, dalam bentuk pelecehan seksual.

Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden juga menyatakan potensi pria mengalami pelecehan seksual. Data itu menunjukkan 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. 

Begitu pun dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang memperlihatkan korban kekerasan seksual pada 2018 lebih banyak dialami anak laki-laki, di mana mencapai 60 persen anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.

Media massa juga gencar memberitakan kasus-kasus pelecehan di mana kaum adam lah yang menjadi korbannya. Sebut saja, kejadian yang menimpa seorang remaja laki-laki berinisial FA di Probolinggo, Jawa Timur, pada 2021 lalu.

Remaja yang baru berusia 16 tahun kala itu mengaku telah menjadi korban perkosaan seorang perempuan berinisial DAP. Tak cuma dikibuli, lelaki malang itu bahkan dicekoki minuman keras hingga tidak sadarkan diri.

Pada 2020 lalu, juga terdapat kasus yang cukup menghebohkan publik Indonesia. Adalah kasus Reynhard Sinaga, seorang WNI yang terbukti melakukan 159 kasus perkosaan dan serangan seksual di Inggris. 

Dibungkam Toxic Masculinity
Ilustrasi kasus pelecehan seksual pada pria. Foto: Net.

Selain beberapa contoh kasus di atas, sudah pasti ada lebih banyak kasus pelecehan seksual yang dialami pria. Namun, kasus tersebut tak pernah terungkap ke permukaan lantaran kaum adam dibungkam toxic masculinity yang begitu mengakar di tatanan sosial.

Davies dan Rogers dalam Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literatur (2006) menyebut toxic masculinity membuat orang meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan dianggap sebagai hal ‘di luar nalar.’

Stereotip memandang perempuan sebagai makhluk lemah lagi pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah sosok yang lebih agresif, menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, sulit untuk membayangkan ‘perempuan yang submisif’ memaksa seorang pria yang secara terang menolak untuk berhubungan seks.

Laki-laki dianggap senantiasa menginginkan hubungan seksual, sehingga mereka tidak bisa diperkosa. Laki-laki pun dinilai cukup kuat, sehingga mustahil rasanya bila mereka tak dapat melawan kejahatan perkosaan.

Sebab itulah, laki-laki korban seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan “kejantanannya” karena tidak mampu melindungi diri. Belum lagi, ada asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual.

Russell dalam Conflict-related sexual violence against men and boys (2007) juga menuliskan hal serupa. Saat menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki cenderung enggan untuk melaporkan kasusnya.

Laki-laki juga mengalami dampak sebagaimana yang dialami perempuan kala menjadi korban, yaitu depresi, kemarahan, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, disfungsi seksual, trauma, bahkan keinginan untuk bunuh diri.

Masalah lain yang dihadapi laki-laki, termasuk adanya peningkatan perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak, dan adanya jarak emosional dengan orang lain (emotional distancing).

Tidak jarang seorang laki-laki korban perkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialami, mempercayai bahwa dirinya yang memberikan kesempatan kepada pelaku.