Hot Borneo

‘Bau Amis’ Rasuah Pasar Alabio Dilaporkan ke KPK

apahabar.com, AMUNTAI – Sengkarut kasus pengelolaan Pasar Alabio pasca-renovasi berlanjut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengendus…

Kuasa Hukum Pedagang Pasar Alabio, Raziv Barokah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi Pasar Alabio ke KPK. Foto: Ist

apahabar.com, AMUNTAI – Sengkarut kasus pengelolaan Pasar Alabio pasca-renovasi berlanjut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengendus adanya dugaan penyelewengan anggaran, Tim hukum Persatuan Pedagang Pasar Alabio (P3A) melaporkan sejumlah oknum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (12/7).

Sejak awal, Kuasa Hukum P3A, Denny Indrayana, telah menduga ada yang tidak beres dalam proyek renovasi Pasar Alabio yang dilaksanakan pada 2017 sampai saat ini.

Bagaimana tidak, P3A yang telah turun temurun menempati Pasar Alabio untuk berdagang, harus terusir akibat kewajiban membayar sumbangan paksa dengan nilai fantastis.

“Sejak pertama kali mengadvokasi P3A sekitar Juni 2020, kami telah menduga banyak yang tidak beres dalam pelaksanaan proyek pembangunan di Hulu Sungai Utara, salah satunya proyek renovasi Pasar Alabio ini," jelas Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014 tersebut, dalam keterangan tertulisnya.

Denny menduga kualitas renovasi Pasar Alabio jauh di bawah standar sebuah bangunan bernilai Rp9,6 miliar. Indikasi itulah yang menurutnya yang bisa digunakan oleh KPK sebagai pintu masuk penyelidikan.

Masalah kemudian berlanjut ketika P3A telah dinyatakan menang oleh Mahkamah Agung namun Pemkab HSU bersikeras menolak eksekusi.

Saat ditelusuri, kata Denny, terdapat dugaan tindak pidana korupsi yang terstruktur dan sistematis dalam pembangunan Pasar Alabio sepeninggal Bupati nonaktif Abdul Wahid yang diduga menjadi penyebab Pemkab HSU di bawah komando Plt Bupati Husairi tidak kunjung bisa mengeksekusi putusan.

Pada kesempatan yang sama, Kuasa Hukum P3A lainnya, Muhamad Raziv Barokah menjelaskan terdapat tiga jenis subjek yang berpotensi kuat terjerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam laporan yang ia ajukan ke KPK.

Pertama, oknum Pemkab yang mendapat unit ruko atau toko sehingga menyingkirkan hak para pedagang lama. Kedua, oknum Pemkab yang melakukan kesalahan pengelolaan anggaran sumbangan, sehingga Pemkab HSU terhambat melakukan pengembalian dana ke pedagang baru.

Ketiga, pihak-pihak yang berkontribusi sehingga menyebabkan kualitas pembangunan Pasar Alabio jauh dari standar bangunan seharga Rp9,6 miliar.

Meskipun menggunakan nama orang lain, menurutnya KPK bisa menelusuri siapa penerima manfaat sebenarnya dari ruko tersebut menggunakan data-data awal yang disampaikan pihaknya.

“Jadi baik aktor-aktor pada masa lalu era kepemimpinan bupati non-aktif, maupun aktor-aktor saat ini, berpotensi kuat terjerat tindak pidana korupsi yang kami laporkan," jelas senior Lawyer Integrity Law ini.

Langkah melapor KPK, kata Raziv terpaksa diambil untuk melakukan perbaikan sistematis dan komprehensif di tubuh pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Utara, serta masyarakat pada umumnya.

"Jangan sampai terulang tragedi di mana masyarakat kesulitan menghadapi pemulihan ekonomi pasca Covid-19, namun oknum pemimpin mereka pesta pora menikmati uang hasil korupsi," Raziv mengakhiri.

Perjalanan Kasus

Kroni-Kroni Wahid di Sengketa Pasar Alabio Menguat

Sebagaimana diketahui perjalanan Pedagang Pasar Alabio dalam memperjuangkan haknya kembali menghadapi kebuntuan.

Secara mengejutkan, Pemkab HSU enggan menepati janjinya sebagaimana hasil audiensi pertama yang dilaksanakan pada Kamis (7/4) untuk segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung (MA).

Dalam pertemuan pada Rabu (22/6), Pemkab HSU berdalih tidak akan mengeksekusi putusan MA karena sedang menunggu proses peninjauan kembali (PK).

Padahal mengacu Pasal 66 ayat (2) UU Mahkamah Agung, pengajuan PK tidak boleh menunda pelaksanaan putusan kasasi.

Sulitnya Pemkab HSU mengeksekusi putusan MA diduga tak lepas dari keberadaan kroni-kroni Wahid sebagai pemilik lapak baru Pasar Alabio menggantikan para pedagang lama. Hal itu diungkap Ahmad Fauzi, Ketua DPW Laskar Elang Borneo.

"Kami terima list atau daftar pemilik lapak baru di Pasar Alabio HSU. Kami menduga sebagian lapak tersebut diisi kroni bupati HSU nonaktif, timses, hingga kroni oknum anggota DPRD HSU dan patut diduga inilah yang menghambat proses eksekusi putusan MA," tegas tokoh pemuda Amuntai ini, tempo lalu.

Sesuai daftar alat bukti tambahan surat tergugat, salah satu pemilik lapar baru diduga adalah istri muda Wahid. Kemudian ada nama anak daripada adik Wahid sebagai pemilik petak nomor 1, hingga saudara istri Wahid di petak nomor 2.

Sempat dihubungi media ini, Husairi mengaku jika merealisasikan putusan MA terkait sengketa Alabio tak semudah membalik telapak tangan.

Pasalnya, Pemkab HSU harus merogoh kocek duit miliaran rupiah untuk mengembalikan 'duit sumbangan' ke para pedagang baru yang beberapa di antaranya diduga memiliki kekerabatan dengan Wahid tersebut.

Husairi sendiri mengaku tak tahu-menahu soal duit sumbangan tersebut. Perjanjian itu ada kala roda pemerintahan dipegang Wahid yang kini nonaktif akibat ditangkap KPK.

"Pemkab mesti menyiapkan uang yang sudah disetor mereka [pedagang baru], masih dirumuskan apakah itu sumbernya dari APBD atau bagaimana nantinya," ucap Husairi, akhir pekan lalu.

Berapa jumlah uang yang harus dikembalikan Pemkab HSU? Husairi tak menjelaskan.

Husairi mengaku sempat berkomitmen patuh akan perintah MA sampai akhirnya para pedagang baru mendatanginya.

Mereka meminta kejelasan sembari mendorong Pemkab menempuh jalur PK. Beberapa usulan pun ditampung, namun ada pula yang tak bisa dipenuhi.

"Yang jelas kita tidak mengabaikan putusan MA. Tetapi sekali lagi, untuk mengeksekusi itu perlu persiapan, termasuk soal mengembalikan uang sumbangan," pungkasnya.