Arifuddin Merasa Dikambinghitamkan di Kasus Korupsi Lahan Kecamatan Tanbu

Terdakwa Arifuddin merasa dikambinghitamkan dalam kasus korupsi pengadaan lahan fiktif kantor Kecamatan Simpang Empat Tanah Bumbu (Tanbu).

Terdakwa Arifuddin dan Amruddin menyampaikan ekspresi (keberatan) atas dakwaan JPU di sidang kasus korupsi pengadaan lahan kantor Kecamatan Simpang Empat Tanbu di Pengadilan Tipikor Banjarmasin. Foto: Syahbani

bakabar.com, BANJARMASIN - Terdakwa Arifuddin merasa dikambinghitamkan dalam kasus korupsi pengadaan lahan fiktif kantor Kecamatan Simpang Empat Tanah Bumbu (Tanbu).

Dia tak menyangka sporadik atas lahan kantor Kecamatan Simpang Empat yang ditandatanganinya akan menjadi malapetaka. Menyeretnya dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Klien dijadikan kambing hitam atas kebijakan struktural. Bahwa pemerintah atas menandatangani surat sporadik datang dari pejabat struktural, dan klien kami tidak berada dalam posisi yang menolak perintah tersebut,” ujar Cipta Ari Baskara saat membacakan nota eksepsi (keberatan) kliennya Arifuddin di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Selasa (8/7).

Dalam nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu, Arifuddin menyatakan perbuatan yang dia lakukan sepenuhnya atas dasar perintah atasan. Bukan kehendaknya sendiri.

Dia mengira tindakan tersebut hanyalah tugas administratif biasa, yang lazim diberikan kepada staf honorer oleh pejabat struktural. Dia juga tak memikirkan adanya keuntungan yang bakal diperoleh.

Pasalnya Arifuddin, hanyalah seorang pegawai yang berstatus sebagai honorer. Dia dipekerjakan di Istana Anak Yatim Darul Azhar, milik mantan Bupati Tanbu Zairullah Azhar. 

Dia turut terseret dalam kasus korupsi ini lantaran berperan sebagai pemilik sporadik lahan yang kemudian dibeli menggunakan anggaran belanja daerah Tanbu. Namun belakangan terungkap lahan tersebut sudah lama dimiliki Pemkab Tanbu.

“Sebagai tenaga honorer, klien kami berada dalam posisi rentan dan hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasan tanpa memahami implikasi hukum nya. Dengan demikian sangat tidak adil apabila klien  kami menanggung pertanggungjawaban pidana dan turut dibebankan kepada klien kami,” terang Baskara.

Selain itu dalam nota eksepsi yang dibacakan di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Ariyas Dedu itu, Arifuddin mengaku tak memiliki kewenangan mengambil keputusan, melakukan pencairan anggaran, menetapkan nilai tanah, atau menetapkan siapa yang berhak menerima pembayaran. 

“Ia bukan pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), kuasa pengguna anggaran (KPA), maupun pejabat lain yang memiliki tanggung jawab atau kewenangan pengelola anggaran,” jelas Baskara.

Masih dalam nota eksepsinya, Arifuddin menyatakan bahwa dakwaan JPU bersifat kabur. Sebab jaksa tak menguraikan secara jelas dan spesifik tindakan apa yang dilakukannya yang memenuhi delik. 

Arifuddin hanya disebut sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, namun tak ada peran aktif dalam pengambilan keputusan atau pencairan anggaran, menerima aliran dana atau memalsukan dokumen, serta bekerja secara sadar dan terencana dengan pihak pihak yang disebut menerima keuntungan. 

Senada dengan Arifuddin, dalam eksepsinya Terdakwa Amruddin yang dibacakan Kuasa Hukumnya, Diswan menyatakan bahwa dakwaan JPU kabur alias tidak jelas.

Sebab menurut Diswan tanggal yang disebutkan JPU dalam dakwaan terkait pertmemuan kelaienya di Kantor Bupati yang saat itu dijabat Zairullah Azhar tidak tepat.

JPU menyebut pertemuan itu terjadi pada 13 September 2023, namun pada faktanya pertemuan itu terjadi pada 12 September 2023.

“Padahal pada faktanya pertemuan dengan disertai perintah kepada Terdakwa I (Amruddin) untuk melakukan proses tanah a quo pada tanggal 12 September 2023 sambil memberikan segel sporadik yg kosong blm ada tanda tangannya,” jelas Diswan.

Kemudian dalam dakwaan JPU menyebut Amruddin memerintahkan untuk mencairkan uang pembayaran ganti rugi tanah. Sedangkan dia hanya sebagai Pejabat PPTK Dinas PUPR yang tak memiliki kewenangan.

“Sehingga Terdakwa I tidak dapat dipidana karena itu adalah perintah dari atasannya vide Pasal 51 ayat 1 KUHP.

4. Dakwaan JPU tidak mengungkap fakta hukum tentang telah dikembalikannya uang dari Terdakwa II Arifuddin seluruhnya ke kas daerah,” ucapnya.

Selain itu, soal uang Rp1 miliar yang dijadikan barang bukti oleh jaksa bukan merupakan bagian dari uang pembayaran tanah yang sudah  dikembalikan oleh Arifuddin.

Sebab uang tersebut murni pinjaman Bupati (Zairullah Azhar) kepada Amruddin berdasarkan bukti kwitansi pinjaman uang pada bulan Mei 2023 yang diberikan oleh istrinya.

“Intinya dakwaan JPU kabur, tidak cermat dan tidak jelas sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak tidaknya dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima,” pungkas Diswan.

Atas eksepsi tersebut, majelis hakim memberi waktu kepada JPU untuk memberikan tanggapannya yang rencananya disampaikan pada sidang selanjutnya pada Selasa 15 Juli mendatang.