PLTU Batu Bara Adaro

Ancam Target Iklim, Bank Domestik Danai PLTU Batu Bara Adaro di Kaltara

Keputusan lima bank domestik di Indonesia yang mendanai proyek PLTU batu-bara baru sebesar 1.1 gigawatt direspons oleh lembaga pemerhati lingkungan.

Ilustrasi -Smelter Adaro direncanakan akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5.2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya. Foto: Adaro

apahabar.com, JAKARTA - Keputusan lima bank domestik di Indonesia yang mendanai proyek PLTU batu bara baru sebesar 1.1 gigawatt direspons oleh lembaga pemerhati lingkungan.

Mereka mengutarakan kekecewaannya atas pendanaan yang akan digunakan untuk menyediakan listrik ke smelter aluminium milik Adaro di dalam Kawasan Industri Hijau (KIH) Kalimantan Utara.

Minggu lalu, rencana Adaro untuk membangun PLTU batu bara baru sempat mendapatkan sorotan publik dan menuai polemik. Adaro seperti terlihat dari tema laporan keuangan mereka Transforming into a bigger and greener Adaro, ternyata masih mengandalkan bisnis batu bara.

Produksi batu bara Adaro meningkat hampir 20% menjadi 62.8 juta ton dari 52.7 juta ton di tahun 2021 dan Adaro menargetkan kenaikan produksi batu bara di 2023.

Baca Juga: Jual Saham Hampir Rp1 Triliun, Adaro Kembangkan Smelter di Kaltara

Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, lima bank yang terlibat dalam kredit sindikasi ini adalah Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Permata. Diketahui tidak ada bank asing yang terlibat di transaksi tersebut.

Sejauh ini, perbankan di Indonesia belum memiliki kebijakan untuk membatasi batu-bara sebagai acuan dalam pemberian kredit. Padahal lebih dari 200 institusi keuangan termasuk bank global telah memiliki kebijakan pembatasan tersebut.

“Bank global menghindari proyek PLTU batu bara yang merusak ini karena tingginya risiko iklim, keuangan dan risiko reputasi dalam proyek ini.” Jelas Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi Indonesia dari Market Forces dalam keterangannya dikutip Senin (22/5).

Karena itu, kata Nabila, sangat mengkhawatirkan apabila Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA dan Bank Permata masih bersedia mendanai rencana PLTU batu bara baru Adaro. Adapun Adaro dianggap tidak memiliki rencana bisnis transisi yang sejalan dengan target iklim.

Baca Juga: Tinggalkan Batu Bara, Adaro Diversifikasi Bisnis Energi Terbarukan

"Bank yang terlibat dalam transaksi itu artinya juga berkontribusi memperparah bencana iklim." imbuh Nabilla.

Pinjaman tersebut telah disalurkan ke dua anak perusahaan Adaro. Kalimantan Aluminium Industry (KAI) mendapatkan pinjaman sebesar US$981.4 juta dan IDR1.5 triliun untuk smelter aluminium-nya, dan Kaltara Power Indonesia (KPI) mendapatkan pinjaman sebesar US$603 juta dan IDR 192.1 miliar untuk pembangunan PLTU batu bara.

Rencana Adaro berlawanan dengan riset iklim. International Energy Agency (IEA) menyatakan bahwa untuk mencapai Net Zero di tahun 2050 seharusnya sudah tidak ada PLTU batu bara baru sejak 2021 untuk membatasi laju kenaikan suhu Bumi di bawah 1.5 derajat celsius.

Karena itu, perwakilan 350 Indonesia Jeri Asmoro menjelaskan, dengan asumsi PLTU batu bara tersebut menggunakan teknologi terbaru dan memproduksi aluminium sebanyak 500.000 ton per tahun, maka emisi yang dihasilkan adalah sebesar 5.2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya.

Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Batu Bara Dipercepat jika Ingin Kurangi Emisi Karbon

"Bank-bank ini tidak hanya berkontribusi dalam meningkatkan emisi global, tapi berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia. Mereka memilih untuk tidak menghiraukan sains iklim yang menyatakan untuk berhenti mendanai aset batu-bara baru." jelas Jeri.

Pendanaan BNI ke Adaro, kata Jeri sebagai bentuk pengingkaran BNI pada komitmen green banking. "Ini menunjukkan bahwa kampanye hijau mereka selama ini hanya greenwashing," tegasnya.

Sebelumnya di bulan September 2022, BNI dan BRI menyatakan tidak berencana meningkatkan ekspansi ke sektor batu bara. Namun faktanya, kedua bank tersebut menjadi anggota sindikasi pinjaman di proyek ini.

Perjanjian pendanaan itu ditutup di waktu yang bersamaan dengan finalisasi Just Energy Transition Partnership (JETP). Skema pendanaan yang bertujuan untuk mempensiunkan dini PLTU batu bara untuk mencapai net zero di tahun 2050.

Baca Juga: Celios Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Soal Pensiun Dini PLTU Batu Bara

"Jika ini adalah transisi yang telah dijanjikan oleh Adaro, maka Adaro jelas melakukan greenwashing. PLTU batu bara baru sangat berlawanan dengan transisi hijau," jelas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi di Greenpeace Indonesia.

Bondan berpendapat, transaksi tersebut telah mengancam target iklim Indonesia, dan dapat mencederai integritas JETP.

"Komunitas lokal dan generasi di masa depan lah yang akhirnya harus menanggung beban dari keputusan bank-bank Indonesia untuk mendanai PLTU batu bara baru," tandasnya.