Hot Borneo

[ANALISIS] Cerucuk Galam Alfamart Ambruk, Layakkah?

apahabar.com, MARTAPURA – Tiga bulan berlalu polisi belum juga mengungkap kejanggalan ambruknya bangunan Alfamart Gambut di…

Sejumlah petugas berjibaku mengambil sampel beton di lokasi Alfamart Gambut yang ambruk, Jumat (22/4). Foto: Dok.apahabar.com

apahabar.com, MARTAPURA – Tiga bulan berlalu polisi belum juga mengungkap kejanggalan ambruknya bangunan Alfamart Gambut di Kilometer 14, Kabupaten Banjar.

Gagal konstruksi bangunan tiga lantai berujung maut masih dalam penyelidikan kepolisian. Juga kajian penelitian dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) nasional.

Sebagai pengingat, 14 pengunjung tertimbun akibat tragedi 18 April 2022 atau pertengahan Ramadan 1443 hijriah lalu. Nahas, 5 di antaranya tewas.

Fakta baru mencuat. Konstruksi bangunan yang ditempati Alfamart dan toko sparepart rupanya menggunakan tiang pancang kayu dolken atau galam.

Dalam dunia pertukangan di Kalsel, pancangan ini sering disebut cerucuk galam. Fakta demikian diungkap Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertahanan (PUPRP) Banjar, M Riza Dauly.

“Berdasar dokumen, pondasi menggunakan pancangan kayu galam. Teknik pondasi kearifan lokal,” ujar Riza Dauly kepada apahabar.com.

Lalu sejauh mana kelayakan konstruksi galam? Riza belum menyimpulkan.

“Perlu dilihat lagi apakah mampu menopang beban berat bangunan. Itu LPJK nanti yang menilai, kita serahkan semua ke mereka,” sambung Dauly.

Untuk menjawabnya, apahabar.com lalu menyodorkan pertanyaan ke pakar konstruksi nasional asal Kalimantan Selatan, Subhan Syarief.

“Sebenarnya, bukan masalah persoalan ada atau tidak ada teorinya,” ujar mantan ketua Intakindo dan Inkindo Kalsel ini kepada apahabar.com, Jumat (29/7).

Tiap daerah, beda-beda karakteristik alas bangunannya. Ada tanah keras ada pula rawa.

Di daerah rawa, cerucuk galam berfungsi agar beban bangunan sampai ke tanah keras. Namun permasalahan akan muncul sebab dua hal.

Pada daerah rawa, harus digunakan lagi alat bantu. Agar beban bangunan sampai pada tanah keras. Salah satunya dengan tiang pancang.

Dulu, cerita Subhan, sebelum ditemukan metode bahan bangunan untuk tiang pancang, maka digunakanlah kayu pohon.

Kalsel, Subhan mencontohkan, memiliki pohon yang berkarakter tahan air. Seperti ulin. Termasuk galam.

“Kebetulan daerah kita punya banyak kayu galam. Jadi budaya dijadikan tiang pancang untuk menyalurkan beban dari kaki bangunan ke tanah keras,” terang Subhan.

Galam, sebut Subhan, punya kelebihan daya hisap lebih. Hingga dapat menyatu dengan lumpur yang ada di sekilingnya.

Ringkasnya, sekalipun tidak mencapai ke tanah keras, kayu putih tetap bisa menampung daya beban di atasnya.

“Kelebihan lainnya, makin terendam air galam makin kuat, itu memang karakternya,” tutur Subhan.

Namun permasalahan akan muncul sebab dua faktor. Pertama, ketika pemasangan pancang galam tidak pada tempat yang selalu terendam air.

“Karena adanya perubahan lingkungan akibat pemanasan global, maka yang terjadi akhirnya pasang surut air. Ketika pasang surut air, kepala-kepala galam itu kadang basah kadang kering, menyebabkan lapuk,” jelas Subhan.

Faktor kedua, metodologi. Pancang galam untuk menahan beban bangunan sangat bergantung jumlah galam. Serta panjang dan besar dimensinya.

Bangunan harus dihitung bebannya. Lalu disesuaikan dengan hitungan kekuatan pancang galam menerima beban bangunan.

Dari sana, dapat dihitung berapa tiap tiang menerima beban dan dapat ditentukan berapa jumlah pondasinya dan kedalamannya.

“Juga harus paham cara menghubungkan pancang kepala galam dengan beton kaki bangunannya,” ucap Subhan.

Yang jadi persoalan saat ini kondisi dulu dengan sekarang beda. Tempo dulu, kayu galam yang ukurannya cukup panjang dengan dimensi 15-20 cm masih melimpah.

Kini, kebanyakan galam hanya 10 cm saja dimensinya dengan panjang 4-5 meter. “Barangnya ini (galam yang sesuai) makin langka,” ucap magister teknik lulusan ITS Surabaya ini.

Sementara wilayah rawa seperti Gambut, Kertak Hanyar termasuk Banjarmasin, kedalaman untuk sampai ke tanah keras rata-rata mencapai 30 meter. Bahkan ada yang sampai 40 meter.

Sehingga yang terjadi pancangan galam tidak akan sampai ke tanah keras. Kekuatannya tersisa dari segi daya hisapannya saja.

“Karena dihisapnya makanya jadi kuat. Oleh karena itu, metodologi pemasangannya pun harus benar,” ujarnya.

“Misal tidak boleh sangat rapat yang menyebabkan daya hisapnya berkurang,” sambungnya.

Maka kelangkaan galam, pasang-surut air, ditambah metodologi yang tidak tepat amat sangat memengaruhi.

“Akhirnya muncul kasus-kasus seperti Alfamart di Gambut. Saat ini kan rata-rata bangunan dengan pondasi seperti itu hampir semuanya mengalami kemiringan,” sambungnya lagi.

Oleh karenanya, dokter hukum konstruksi jebolan Universitas Islam Semarang ini menyarankan pemasangan tiang pancang pondasi yang paling aman adalah menggunakan bahan bangunan khusus.

“Seperti tiang pancang beton, pancang baja, dan lainnya. Cuma yang jadi kendala itu biaya besar, jadi untuk kepentingan masyarakat menengah ke bawah harus ke luar biaya besar hanya untuk bagian pondasi,” pungkasnya.

Fakta Baru Tragedi Alfamart Gambut: Pondasi Pakai “Kearifan Lokal” Galam