3 Langkah Pemkot Surabaya Mitigasi Gempa Bumi, Sudah Ideal?

Berbeda negara, berlainan pula langkah mitigasi yang disiapkan untuk menghadapi genpa bumi. Meski intinya serupa, tak ada salahnya mengomparasikan upaya itu

Ilustrasi mitigasi gempa bumi. Foto: Galamedia.

apahabar.com, JAKARTA - Selama beberapa bulan terakhir, gempa bumi berulang kali melanda Indonesia. Berkaca dari tragedi itu, Pemerintah Kota Surabaya menyampaikan langkah mitigasi yang mesti dilakoni kala menghadapi bencana alam itu.

Sebagaimana diberitakan apahabar.com sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya, Eddy Christijanto, menjelaskan salah satu upaya itu ialah menerapkan larangan mendirikan bangunan di kawasan rawan bencana, atau tanah lunak.

“Rencana tata ruang di Surabaya harus disiplin dan tidak boleh ada bangunan di tanah berkontur lunak,” tegasnya, dikutip Selasa (7/3).

Selain itu, pemkot juga mengatur tentang aturan konstruksi bangunan. Beleid itu menjelaskan berbagai persyaratan, mulai dari arsitektur, bahan baku, sampai tinggi maksimal bangunannya akan diatur. 

Adapun mitigasi terakhir yang dipersiapkan adalah edukasi mengenai mitigasi bencana gempa bumi kepada stakeholder dan masyarakat. “Kami juga membuat video animasi mitigasi tanggap bencana gempa,” ujar Eddy.

Terkait dengan hal tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut masyarakat juga perlu memperhatikan golden time. Ini adalah waktu emas selama 10 sampai 30 menit untuk menyelamatkan diri.

Ketika terjadi gempa besar yang memicu tsunami, tindakan dalam golden time itulah yang akan menjadi penentu hidup dan mati seseorang.

Berkaca dari Negara Maju

Berbeda negara, berlainan pula langkah mitigasi yang disiapkan untuk menghadapi genmpa bumi. Meski intinya serupa, tak ada salahnya mengomparasikan upaya yang diterapkan di Indonesia dengan negara lain.

Sebut saja Jepang, negara yang sering diterjang gempa bumi dan tsunami. Pemerintah di sana sudah menerapkan pendirian bangunan tahan gempa, di mana dirancang sedemikian rupa agar tidak ikut terguncang.

Konstruksi bangunan di Negeri Sakura tersebut dirancang agar dapat bergoyang, sehingga lebih aman. Kawasan pesisir pantainya juga dibangun tsunami shelter yang dilengkapi pula dengan pintu banjir untuk menahan arus air dari tsunami.

Tak cuma itu, Jepang juga memiliki sistem yang dapat mengirimkan peringatan tsunami dalam waktu tiga menit dari gempa bumi terjadi. Sistem ini dilengkapi dengan sistem pengeras suara untuk menyiarkan informasi darurat kepada warga. 

Adapun untuk daerah pedesaan, warga setempat diberikan radio oleh pemerintah agar dapat menerima perintah mengungsi. 

Bukan Sekadar Edukasi

Terkait langkah mitigasi yang berupa edukasi, Jepang juga melakukan hal demikian. Bedanya, itu bukan sekadar ceramah belaka, melainkan benar-benar dilatih supaya bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa arahan petugas.

Masyarakat juga perlu memahami makna di balik status peringatan dini. Sebagaimana yang biasanya diumumkan BMKG, ada tiga kategori peringatan dini selang lima menit usai gempa: awas, siaga, dan waspada.

Awas bermakna tinggi diperkirakan lebih dari tiga meter, sehingga masyarakat diminta evakuasi segera. Pemerintah daerah setempat harus menyediakan informasi jelas mengenai jalur dan tempat evakuasi terdekat.

Siaga berarti tinggi tsunami diperkirakan berkisar 0,5 meter hingga tiga meter. Pemerintah diharapkan dapat mengerahkan warga untuk evakuasi.

Waspada artinya tinggi tsunami kurang dari 0,5 meter. Meskipun kecil, masyarakat tetap diminta untuk menjauhi pantai atau sungai.