bakabar.com, BANJARMASIN – Rencana gugatan Undang Undang (UU) Pemidahan Ibu Kota Kalsel ke Mahkaman Konstitusi (MK), kian dimantapkan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin yang merasa ‘kecolongan’ Ibu Kota Kalsel pindah ke Banjarbaru gencar merapatkan barisan guna memenangi jalur hukum yang ditempuh nanti.
Selasa (8/3), bertempat di Balai Kota Banjarmasin, mereka menggelar pertemuan tertutup dengan mengundang advokat Borneo Law Firm (BLF).
Ya, Pemkot Banjarmasin menggandeng Borneo Law Firm, terkait gugatan yang tak jauh menyoal prosuder digunakan hingga UU provinsi itu lolos di DPR RI.
Di MK, Pemkot ‘mewakili’ masyarakat Banjarmasin, akan melakukan judicial review, sebagai langkah meluruskan keputusan DPR RI atas UU provinsi tersebut.
Pihak Pemkot diwakili Kabag Hukum, Lukman Fadlun dan Asisten I Bidang Pemerintahan Setdakot Banjarmasin, Dolly Syahbana.
Sementara dari BLF, nampak hadir masuk ke Balai Kota Banjarmasin.
Lantas apa hasilnya? Direktur BLF, M Pazri nampak sedikit irit bicara. Ia mengungkapkan pertemuan tertutup hanya sebagai pertemuan awal kedua belah pihak.
Sehingga, hanya sekadar meminta pandangan-pandangan soal bagaimana prosedur menempuh jalur sengketa ke MK.
"Pasalnya sampai sekarang belum ada naskah akademiknya di website DPR RI," ucap Pazri kepada bakabar.com, usai pertemuan.
Dia menambahkan, pengajuan uji materi mesti menunggu lembaran negara dari pengesahan UU tersebut.
Sementara yang mencuat ke publik, UU Provinsi terdapat dua versi. Ada yang berisi 8 pasal, ada pula 49 pasal.
"Kita tunggu saja apa yang terbit di Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) [website DPR RI] nanti, sembari mengumpulkan data-data," tutup doktor jebolan Universitas Sultan Agung Semarang ini.
Pemindahan ibu kota provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru memang jadi sorotan.
Langkah senyap perancangan Undang Undang Provinsi tersebut memang mengundang ragam kejanggalan.
Terlebih, pihak terkait seperti Pemkot Banjarmasin tak dilibatkan dalam proses pembahasan.
Namun, UU Provinsi itu tiba-tiba sudah disahkan DPR RI sejak 15 Februari lalu, hingga bikin heboh. Ada yang pro dan kontra.
Kini, pihak terkait yang kontra, punya legal standing, masih berpeluang menempuh jalur uji materi.
Peluang ini merujuk Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. UU itu baru disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak UU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan presiden.
Pasal 73 ayat (2) menyatakan dalam hal UU tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama, UU tersebut sah menjadi dan wajib diundangkan.
Terlepas dari itu, Pazri sepakat dengan keberadaan UU Nomor 25/1956 jo UU Nomor 21/1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10/1957, menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalsel harus direvisi.
Secara historis Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalsel, Kalbar dan Kaltim.
Sebelumnya, tiga provinsi itu menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan hingga pada 23 Mei 1957.
Provinsi Kalsel pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Provinsi Kalteng dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Provinsi Kalteng.
Sebab secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date) karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950 sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini.
Namun, setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan pada 15 Februari 2022, Pazri menilai banyak menuai polemik.
Seperti Pasal 4 yang bunyinya ibu kota provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarbaru.
Menurut Pazri, dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodasi landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis.
"Termasuk kebutuhan Kalsel sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Pazri jauh sebelum pertemuan hari ini.
Pazri berkesimpulan bahwa UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan harus dikaji lebih mendalam, termasuk uji publik secara maksimal.
"Karena saya menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK, di uji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," paparnya.
Dasar untuk menggugat UU Provinsi Kalsel bisa melalui judicial review di MK.
Dasarnya adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.
Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka, pengujiannya dilakukan oleh MK.