Kalsel

Dulu-Kini, Mengenal Gerakan Sosial Laung Bahenda di Batola

apahabar.com, MARABAHAN – Kendati perjuangan belum berakhir, Gerakan Laung Bahenda (laung kuning) pernah mewarnai Barito Kuala…

Featured-Image
Warga Desa Jambu Baru mengenakan Laung Bahenda (Laung Kuning) bersama perwakilan PT TAL menandatangani kesepakatan penyelesaian polemik lahan beberapa waktu lalu. Foto-dok

bakabar.com, MARABAHAN – Kendati perjuangan belum berakhir, Gerakan Laung Bahenda (laung kuning) pernah mewarnai Barito Kuala (Batola) sebagai alternatif perlawanan.

Sedianya laung kuning pernah dikenal sebagai simbol perlawanan masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito semasa penjajahan Belanda.

Lantas gerakan ini kembali dimunculkan sejumlah warga Desa Jambu Baru di Kecamatan Kuripan, ketika bangkit melawan perusahaan perkebunan sawit PT Tasnida Agro Lestari (PT TAL), akhir Juli 2019.

Mengenakan ikat kepala berwarna kuning, warga yang mayoritas beretnis Bakumpai (sub etnis Dayak Ngaju) ini menyuarakan tekad mempertahankan petak danum (tanah dan air), khususnya rawa gambut, kepada pemerintah setempat.

Mereka memprotes aksi PT TAL yang diam-diam mencomot lahan Jambu Baru melalui perbatasan Desa Balukung di Kecamatan Bakumpai.

Padahal lahan yang digarap PT TAL merupakan hutan rawa gambut berharga untuk warga Jambu Baru.Disebut dengan padang, kawasan tersebut merupakan ekosistem purun, galam dan ikan.

Dari padang itu, warga turun-temurun mendapatkan penghasilan dari menjual batang galam yang tumbuh alami.

Kemudian tatkala padang mengering di musim kemarau, mereka memanen ikan yang terjebak dalam kolam buatan.

Untuk masyarakat tradisional seperti Desa Jambu Baru, fungsi hutan rawa gambut tidak hanya sebagai aset ekonomi berjangka pendek. Tetapi juga ekosistem dan sosial budaya secara turun-temurun.

Inilah yang diperjuangkan warga Jambu Baru sejak 2007, setelah perusahaan sawit berekspansi dan menjanjikan mereka masa depan sebagai petani berdasi.

Selama perjuangan berlangsung, beberapa warga bersikap dengan keras. Tetapi tidak sedikit pula yang berusaha mengambil jalan tengah, sampai kemudian muncul Gerakan Laung Bahenda.

“Gerakan Laung Bahenda bukan sebagaimana aksi yang mengutamakan kekuatan jumlah massa, perang urat saraf atau bahkan tindakan destruktif dan intimidasi,” papar Nasrullah, dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP ULM.

Nasrullah tidak sembarang menyimpulkan demikian. Sebagai putra kelahiran Jambu Baru, alumni S2 Antropologi Universitas Gadjah Mada ini terlibat langsung dalam Gerakan Laung Bahenda.

“Gerakan Laung Bahenda dilakukan dengan cara intelek melalui dialog-dialog, sesuai filosofi bélum baadat (hidup memegang adat) orang Dayak,” beber Nasrullah.

Dukungan media massa cetak dan online, termasuk bakabar.com, juga diakui ikut membantu eksistensi Gerakan Laung Bahenda.

“Selain menjaga petak danum untuk kelangsungan hidup generasi mendatang, upaya dialogis adalah bélum baadat dalam mempertahankan kebenaran dengan cara intelektual,” tandas Nasrullah.

Gerakan Laung Bahenda sendiri dijelaskan Nasrullah secara gamblang melalui buku dengan judul yang sama, sehingga cocok dikonsumsi masyarakat yang ingin mempelajari gerakan sosial.

Ini juga merupakan buku ketujuh yang ditulis sendiri oleh Nasrullah, maupun kolaborasi dengan penulis lain.

Dalam buku setebal 105 halaman itu, dirinci sejumlah upaya masyarakat setempat dalam mempertahankan Desa Jambu Baru sebagai benteng terakhir rawa gambut.

img

Perjuangan warga Desa Jambu Baru menentang ekspansi perusahaan perkebunan sawit dirangkum lewat buku Gerakan Laung Bahenda. Foto-bakabar.com/Bastian Alkaf

Editor: Ahmad Zainal Muttaqin



Komentar
Banner
Banner