bakabar.com, KUALA KURUN - "Hakayau" atau "Ngayau" merupakan tradisi penggal kepala yang dijalankan Suku Dayak di Kalimantan, baik dalam peperangan maupun untuk ritual kematian. Tradisi ini sudah lama dihentikan, namun sejarah mencatat, untuk menyatukan suku Dayak yang berkonflik memakan waktu yang lama dan perundingan yang alot.
Di antara Suku Dayak yang menjalankan tradisi ngayau dalam peperangan (penggal kepala musuh) adalah suku Dayak Iban dan Dayak Kenyah. Sementara suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah (Kalteng) menjalankan tradisi ngayau bukan hanya pada saat peperangan, tapi juga dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan Tiwah atau upacara kematian.
Mereka melakukan hal itu untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh.
Pada zaman dahulu, Perang Kayau yang terjadi antar suku Dayak di pedalaman tersebut diketahui pemerintah Hindia Belanda, yang berkedudukan di Nanga Pinuh, Kalimantan Barat (Kalbar).
Mereka berusaha mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian dengan cara berusaha menetapkan keseragaman hukum adat untuk seluruh masyarakat suku Dayak di Kalimantan.
Sementara, Kepala Suku Dayak Kahayan, Damanang Batu yang berada di Tumbang Anodi, Pulau Puruk, Bukit Batu, Desa Tumbang Manange atau Upon Batu (sekarang Kecamatan Tewah), berinisiatif melakukan pertemuan damai antara para pemimpin suku Dayak dari seluruh Kalimantan.
“Hingga pada 1874, Damang Batu berhasil mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan musyawarah bernama Tumbang Anoi (kini ialah salah satu desa yang berada di Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah),” ucap Guru Sejarah SMAN 1 Kahayan Hulu Utara, M. Riski Syahbandi kepada bakabar.com, Jumat (26/6).
Hasil perjanjian tersebut, kata dia, semua suku Dayak sepakat untuk mengakhiri tradisi ngayau atau mangayau karena dianggap menimbulkan perselisihan antara suku Dayak.
Selain itu, Bandi, begitu kerap disapa, mengutip dalam bukunya berjudul ‘Pakat Dayak, KMA M Usop’ disebutkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893, mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalteng, untuk membicarakan upaya perdamaian.
Pada pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan.
“Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai,” jelas mahasiswa Pascasarjana ULM ini.
Satu-satunya kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi.
Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.
Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di Desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makanan.
Ada cerita lain yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makanan para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang Batu juga yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan. Sebanyak 152 suku diundang ke Tumbang Anoi.
“Dalam rapat yang digelar selama dua bulan, sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo,”
Usop juga mencatat, kata Bandi, sedikitnya terdapat 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.
Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, di antaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
“Di tambah lagi, dalam catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Perjanjian Tumbang Anoi itu juga membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57 ditolak karena kekurangan bukti,” pungkasnya.
Editor: Muhammad Bulkini