Tak Berkategori

Terindikasi Gila, Penjagal Bocah SD di Limpasu HST Tak Bisa Dipidana?

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus mutilasi Akhmad (35) kepada RA (10), Selasa (17/09) kemarin, bikin publik Kalsel…

Featured-Image
Ilustrasi mutilasi. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Kasus mutilasi Akhmad (35) kepada RA (10), Selasa (17/09) kemarin, bikin publik Kalsel gempar.

img

Pengamat Hukum Pidana Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Daddy Fahmanadie. Foto-bakabar.com/Musnita Sari

Dari keterangan sejumlah warga, Akhmad sudah lama mengalami gangguan jiwa alias gila.

Hasil penyidikan sementara didapati informasi bahwa pelaku terakhir kali berobat pada Januari 2018.

Sementara, dalam kacamata hukum pidana pada pasal 338 KUHP, perbuatan membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain merupakan hal yang bertentangan dengan kepatutan di masyarakat serta tercela.

Karenanya, sebagaimana tercantum pada Pasal 44 KUHP, Kapolres HST AKBP Sabana Atmojo mengatakan pelaku bisa saja lolos dari hukuman.

Lantas, bagaimana kata pakar soal ini?

Pengamat Hukum Pidana Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Daddy Fahmanadie menilai seseorang bisa saja dipidana.

Asal mampu bertanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya dari sisi individu, pelaku dikatakan sehat secara fisik dan psikis.

"Namun apabila seorang pelaku dikategorikan tidak mampu bertanggung jawab maka gugurlah pidana yang diajukan, meskipun perbuatan tersebut melawan hukum," papar Dosen Fakultas Hukum ULM ini.

Namun, Pasal 44 KUHP ayat 1 dan 2, Daddy membenarkan bisa jadi dasar penghapusan dalam kasus ini.

Akhmad tidak dapat dipidana berkaitan dengan alasan pembenar dan pemaaf jika memang Akhmad dinyatakan benar mengalami gangguan kejiwaan.

Dirinya meminta penyidik harus benar-benar jeli menentukan kondisi kejiwaan pelaku. Baik, melalui keterangan ahli, forensik jiwa, maupun psikiater.

"Tentu melalui pemeriksaan, keadaan semacam itu juga diimbangi dengan bukti surat yang menerangkan keadaan si pelaku. Apakah yang bersangkutan saat membunuh atau sebelumnya memiliki riwayat sakit atau kurang waras," ujar pemilik Klinik Hukum Daddy Fahmanadie ini.

Jika terbukti mengalami gangguan kejiwaan, sesuai pasal 44 KUHP ayat 2, maka hakim dapat memberikan sanksi tindakan berupa perintah untuk memasukkan pelaku ke rumah sakit jiwa. Paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Kasus ini juga menjadi keprihatinannya. Menurut Daddy harus ada pencegahan oleh setiap pihak untuk melakukan pencegahan atau pengawasan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

"Jika terdapat potensi akan terjadi hal demikian, apalagi misalnya pelaku memang gila sedari awal. Harusnya ada kewajiban untuk mencegah dan mengawasi," tutur dia.

Tidak hanya pelaku, kasus seperti ini juga dapat menjerat orang terdekat apabila terbukti adanya kelalaian dan penelantaran pada orang dengan gangguan kejiwaan.

"Dalam KUHP pasal 491, yang dapat dipidana apabila orang terdekat atau yang menjaganya lalai sehingga menyebabkan pelaku berbuat bahaya."

Selain itu dalam hal berbeda, apabila terbukti ada oknum yang menyuruh dan memanfaatkan orang gila untuk melakukan tindak pidana, maka akan dikenakan pidana sesuai dengan KUHP pasal 55.

Diwartakan sebelumnya, RA dihabisi saat belajar di depan rumah Akhmad, yang merupakan tetangganya sendiri.

Tiba-tiba saja pelaku datang dari dalam rumah dan langsung menebas leher bocah malang itu.

RA dipenggal di depan kedua rekannya yang juga masih di bawah umur.

Kedua rekan RA lari tunggang langgang. Jasad RA tergeletak begitu saja sampai warga datang. Dengan tangan masih menggenggam buku, jasad RA terpisah dengan kepala.

Reporter: Musnita SariEditor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner