Kalsel

Menelusuri Jejak Pagustian di Bambangin Batola

apahabar.com, MARABAHAN – Dari 201 desa dan kelurahan di Barito Kuala (Batola), hanya satu desa yang…

Featured-Image
Gapura Desa Bambangin sekarang. Desa ini termasuk kampung kuno, karena pernah ditinggali Biaju di abad 16. Foto-apahabar.com/Bastian Alkaf.

bakabar.com, MARABAHAN – Dari 201 desa dan kelurahan di Barito Kuala (Batola), hanya satu desa yang dihuni warga dengan nama depan seragam. Desa tersebut bernama Bambangin.

Bambangin adalah salah satu dari 13 desa yang berada di Kecamatan Belawang. Terletak sepanjang Sungai Barito, Bambangin memiliki luas wilayah 4.000 meter persegi.

Sama seperti desa-desa lain di Batola, pencarian utama warga Bambangin adalah bersawah dan berkebun. Sedangkan sebagian lain mencari ikan di sungai.

Meski demikian, terdapat karakter khusus yang membedakan warga Bambangin dengan masyarakat desa lain. Perbedaan tersebut adalah embel-embel Gusti di depan nama warga.

Tidak cuma 10 atau 20 warga Bambangin yang memakai nama depan Gusti. Dari 428 kepala keluarga per Juli 2019, 90 persen di antaranya menggunakan kata Gusti sebagai nama depan.

“Penamaan itu sudah turun-temurun sejak padatuan, karena kami memang memiliki garis keturunan Kesultanan Banjar,” papar Gusti Iwan, Kepala Desa Bambangin.

Tidak sekadar nama, adat lama Kesultanan Banjar juga masih dihidupkan di Bambangin. Mulai dari sinoman hadrah, beayun maulud, batapung tawar, anisan, hingga bamandi-mandi.

“Namun demikian, Bambangin bukan desa adat. Kami hanya membudayakan kesenian adat seperti sinoman hadrah dan kesenian-kesenian tradisional lain,” tukas Gusti Upi, Ketua Lembaga Masyarakat Bambangin.

Terlepas dari kesetiaan menerapkan adat istiadat, awal kehidupan Bambangin hanya berupa hikayat, tanpa bukti sejarah maupun catatan silsilah yang menghubungkan mereka dengan Kesultanan Banjar.

Berdasarkan hikayat tersebut, eksodus keluarga Kesultanan Banjar ke Bambangin terjadi pasca pemindahan pusat kerajaan dari Kuin ke Martapura.

“Ketika dipindah ke Martapura, diyakini banyak keluarga kerajaan yang tidak ikut bermigrasi. Mereka memilih bertahan di Kuin atau merantau ke daerah-daerah lain, seperti ke Bambangin,” jelas Upi.

“Bahkan dulu terdapat beberapa keluarga di Bambangin yang menyebut mereka sebagai keturunan terakhir Kesultanan Banjar di Kuin,” imbuhnya.

Andai catatan waktu dalam hikayat tersebut benar, berarti kedatangan keluarga Kesultanan Banjar di Bambangin terjadi antara 1612 hingga 1620.

Berdasarkan catatan sejarah, Keraton Kesultanan Banjar terpaksa dipindah ke Martapura sejak pertengahan 1612, setelah hancur akibat serangan Belanda.

Oleh Sultan Mustain Billah atau Raja Banjar IV, pusat kerajaan dipindah ke Pemakuan, Martapura, sambil menyiapkan keraton baru di Amuntai.

Namun ketika pembangunan keraton Amuntai hampir rampung, kepindahan tersebut tiba-tiba dibatalkan.

Diriwayatkan bahwa Sultan Mustain Billah dilarang memindahkan pusat Kesultanan Banjar ke Amuntai, setelah bertemu Pangeran Suriansyah dalam mimpi.

Sementara mereka yang bermigrasi ke kawasan Batola sekarang adalah keluarga besar Kurba dan Kusuma. Kelak kedua orang tersebut lantas mempengaruhi ideologi Bambangin.

“Sebenarnya mereka tidak langsung menuju Bambangin, tetapi terus ke hulu dan membuka kampung baru di Bagandang atau daerah Simpang Nungki sekarang,” beber Upi.

“Dalam Perang Banjar II, Bagandang menjadi benteng pertama Marabahan yang dikuasai Tumenggung Surapati dan Panglima Wangkang,” sambungnya.

Dalam hikayat yang diyakini warga Bambangin, Kurba masih bisa bekerjasama dengan Belanda. Selain dalam perdagangan, keturunan Kurba dipercaya Belanda untuk menduduki jabatan di pemerintahan.

“Sebaliknya Kusuma siap mati demi menolak apapun yang berbau Belanda. Saking benci dengan penjajah, bayangan Belanda pun harus dimusnahkan,” tegas Upi.

Lantas demi melindungi keturunan dari incaran Belanda, Kusuma sama sekali tidak memiliki catatan silsilah. Sebaliknya keturunan Kurba masih dapat diidentifikasi, kendati tanpa bukti tertulis.

“Kemudian demi menghindari perpecahan antar keluarga akibat perbedaan pendapat, sebagian besar keturunan Kusuma pindah ke Bambangin,” papar Upi.

“Bambangin sendiri merupakan kampung rampasan dari suku asli Biaju. Nama Bambangin diambil dari kata ‘Bambang’ dan ‘Angin’ yang berarti Kejayaan tertinggi,” tambahnya.

Sekalipun berbeda pendapat, sampai sekarang keturunan Kurba dan Kusuma tetap hidup berdampingan di Bambangin. Pun mereka tidak pernah mengungkit-ungkit perbedaan dimasa silam.

“Tetapi terkadang nama Kurba diungkit-ungkit sebagai bahan candaan. Kalau di kampung terdapat orang yang sering menikung kawan, berarti itulah keturunan Kurba,” seloroh Upi.

Baca Juga: Hebat! Dapat Dana Rp71 Miliar, Gibran: Goola Tatap Pasar Asia

Baca Juga: Jemaah Haji Pulang, Menag: Jaga Kemabruran



Komentar
Banner
Banner