Sungai-sungai yang mengaliri wilayah Banjarmasin beberada dekade lalu memang menawan. Tenang dan riak-riak airnya seakan menawarkan kedamaian. Jukung dan perahu dagang pun hilir mudik. Tetapi jangan salah. Air sungai yang mengalir tenang, ternyata menyimpan sosok monster menakutkan.
M Robby, BANJARMASIN
Kemunculannya menimbulkan bencana dan membuat warga Banjarmasin di sekitar sungai ketakutan. Mereka tak lagi merasa nyaman dan selalu was-was. Kehidupan sungai yang tadinya tenang menjadi mencekam.
“Setidaknya itulah yang terekam dalam beberapa catatan orang-orang Belanda yang pernah berdiam di Banjarmasin sejak 160 tahun lalu, tahun 1858 hingga tahun 1940 an,” ucap Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur kepada bakabar.com, Minggu (07/07/2019).
Monster air itu adalah buaya. Buaya memang dikenal sebagai predator yang sangat ganas pemilik rahang terkuat di sungai. Orang Belanda biasa menyebutnya dengan krokodil.
Tercatat sejak tahun 1858 lalu, kata Mansyur, gangguan buaya sungai di Banjarmasin dan sekitarnya sangat mematikan.
Wajar apabila Boomgard (2001) menuliskan bahwa buaya menjadi penyebab kecelakaan yang sering mematikan di Borneo bagian selatan.
Buaya kerap memangsa manusia, ternak hingga hewan peliharaan. Wabah buaya ini sempat memusingkan Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin.
Bagaimana cara mengatasi persoalan ini? Pada tahun 1858, sambung Mansyur, pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan premi.
Semacam hadiah untuk orang yang bisa menangkap dan membunuh buaya serta menyerahkan telur buaya untuk dimusnahkan.
Dalam foto yang dipublish Augusta de Wit, dalam Natuur en menschen in Indie (1914) menggambarkan hasil tangkapan seekor buaya diserahkan langsung oleh warga ke Asisten Residen untuk mendapatkan hadiah.
Sayangnya, program “pemberian hadiah” ini tidak sukses. Hanya sedikit orang yang memburu hadiah dibalik penangkapan buaya.
Orang Belanda pun seakan benci dengan mahluk air ini. Dalam Koran Bataviaasch Nieuwsblad (edisi 7 Februari 1906), diberitakan bahwa Mr J Arnold menembak buaya di sungai kecil pada kawasan Wil-helmina Weg (sekarang Jalan Belitung) di Bandarmasin.
Buaya ini cukup besar sepanjang tiga meter. Sebelumnya buaya tersebut sudah memangsa (menelan) seekor ayam dan bebek.
Derita terus berlanjut ketika pada tahun 1910, pada Sabtu malam, penduduk lokal Banjar yang tinggal di soengei/ Sungai di sebelah alun-alun di Bandjermasin.
Saat dia mandi di batang, lalu diserang buaya, sehingga mengalami luka parah sampai ke kepala dan ke pipi. Luka yang cukup serius.
Beberapa orang yang melihat bergegas berteriak minta tolong. Untung berhasil diselamatkan oleh warga kampung.
“Kalau tidak dia pasti diseret ke dalam air oleh monster itu. Demikian ditulis Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, edisi 15 Januari 1910,” cetus Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM ini.
Kasus lainnya, pada Hari Raya Idul Fitri di Banjarmasin, sang monster menyerang 3 penduduk lokal yang sedang menaiki Jukung di kawasan Sungai Tarapoe (pesisir Sungai Barito).
Akibatnya, salah seorang penduduk tersebut (wanita) menjadi mangsanya. Buaya mendadak menyerang jukung yang sedang ditumpangi penduduk hingga terbalik.
Penumpangnya pun jatuh ke air. Buaya lalu menyerang penumpang wanita. Salah seorang penumpang jukung lainnya dengan penuh keberanian menyerang buaya tersebut. Dengan tusukan senjata tajam berulang kali, berharap sang buaya melepaskan mangsanya. Sayangnya, buaya lalu menghilang ke kedalaman sungai. Wanita itu pun tidak dapat diselamatkan.
“Menderita begitu banyak luka dan dilepaskan oleh buaya setelah beberapa hari. Demikian ditulis koran yang sama edisi 13 Juli 1908,” ujarnya.
Warga Banjarmasin pun mulai memikirkan cara menyingkirkan si monster.
Dalam beberapa bulan terakhir, pada 1910, penduduk Kween (Kuin) di Bandjermasin makin menderita karena ulah buaya. Untuk mengatasi wabah itu dan upaya untuk membalas dendam, warga kampung sepakat menangkap binatang mengerikan ini dengan memasang umpan dan kail.
Bahkan penduduk rela “urunan” untuk membayar pemburu buaya sebesar f 2 (dua gulden) untuk masing-masing hewan yang ditangkap.
Upaya ini membuahkan hasil ketika buaya tangkapan pertama dengan panjang sekitar 3,1 meter diarak dan dipertontonkan di hadapan warga di Kuin. Kejadian ini tepatnya 02 Mei 1910.
Sementara itu, di desa Mantoeil/Mantuil (Banjar-masin) penduduk lokal bernama Djait bin Daoet pada tanggal 25 Februari 1914 meninggal karena diterkam buaya. Mayatnya belum ditemukan.
Demikian halnya di Margasari, seorang Inlander (penduduk lokal) juga dibunuh oleh buaya. Kemudian, di desa Saboehoer di Pleiharische/ Pleihari seorang pria dimangsa buaya.
Peristiwa terjadi di Soengei Bagaoe (Sungai Bagau) yang mengalir ke sungai Martapura. Pada 11 Mei 1914, sepasang suami istri bersama anak mereka pulang ke rumahnya dengan manaiki Jukung “Kiwien”.
Sekitar satu mil dari dermaga (boom) Jukung tersebut tersandung pada sebuah benda yang dikira pohon. Ternyata itu adalah buaya. Hewan ini tidak langsung masuk ke dalam air setelah tertabrak, tetapi memukulkan ekornya dengan pukulan mematikan ke jukung, sehingga penumpangnya terjatuh ke dalam air.
Untungnya, terdapat beberapa perahu penduduk yang kebetulan berada di pinggir sungai. Mereka lalu berdatangan untuk membantu.
Mereka berhasil menyelamatkan ibu, istri dan anak itu. Namun, mereka tidak dapat menemukan pria (si suami) itu, dan keesokan paginya mayatnya yang terluka parah, ditemukan mengambang.
Dewan (Pemerintah Hindia Belanda) pun mulai didesak merumuskan kembali pemberian hadiah (premi) bagi penduduk untuk menangkap, membunuh dan menemukan telur mereka. Dewan perlu memberikan motivasi mengatasi wabah ini.
Tidak ada binatang berbahaya di Borneo kecuali buaya. Bahkan, seekor harimau tidak dapat ditemukan di sana. Hanya ada spesies panther, yang tidak dapat dilacak karena jauh di dalam hujan tropis dan tersembunyi. Demikian diakui penulis buku Indie: geillustreerd tijdschrift voor Nederland en kolonien (1924).
Setahun kemudian, setelah harga kulit buaya mulai mahal, warga lokal di wilayah Aloeh-Aloeh di Bandjermasin telah menangkap buaya besar. Panjangnya enam meter.
Ditangkap dengan cara kail besar yang diberikan umpan ayam hidup yang menempel pada kail. Setelah buaya ditangkap, Ketika perut binatang dibuka, ditemukan sepasang gelang emas, sepasang perak, sepasang alas kaki perak, pin perak, sepasang koin emas Inggris, cincin perak, dan tembaga.
Dari temuan ini, orang dapat menyimpulkan bahwa monster itu melahap setidaknya dua wanita. Sementara perhiasan menunjukkan bahwa para korban adalah wanita. Namun sejauh ini seseorang tidak dapat mengetahui siapa yang malang itu. De Indische courant pun memberitakannya tanggal 02 November 1925. Lantas, bagaimana perjuangan melawan sang monster air berikutnya? (bersambung)
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin