Apa yang kau rasakan, jika kamu merindukan seseorang di sepanjang hidupmu, lalu mendapatkan kesempatan datang ke kotanya untuk menemuinya? Begitulah yang dirasakan Rahmat Andy saat dia bertamu ke Madinah, mengunjungi Baginda Nabi tercinta, di bulan Ramadan pula.
Muhammad Bulkini, BANJARMASIN
Dapat bertemu dengan Ramadan adalah kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam. Bagaimana jika di bulan suci ini diberikan kesempatan untuk mengunjungi Madinah, berziarah ke makam Baginda Nabi SAW? Tentu hal ini merupakan keberuntungan yang tak terperi.
Apalagi jika ziarah itu kemudian dilanjutkan dengan beribadah umrah. Karena Baginda Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya umrah di bulan Ramadan seperti berhaji bersamaku"(HR Imam Bukhari). Hem, kita mungkin bisa berhaji kapan saja, tapi tidak sama seperti berumrah dengan Baginda tercinta.
Keberuntungan itu-lah yang dirasakan Rahmat Andy (42). Dia merasakan mengunjungi Madinah dan berziarah ke makam Nabi SAW di saat Ramadan.
"Merasakan berpuasa di Tanah Suci merupakan sesuatu yang luar bisa," ujar Abah Hafi -akrab dia disapa-.
Penghulu di kota Banjarmasin itu sangat bersyukur dapat berada di Kota Madinah, yang merupakan tempat Rasulullah membina umat.
"Di Masjid Nabawi yang agung, kaum muslimin dari seluruh dunia berlomba melakukan ibadah. Begitu ramai orang-orang membaca Alquran di sana. Bahkan sambil berbaring pun ada yang membaca Alquran," jelas Abah Hafi.
Lelaki kelahiran Barabai itu mengungkapkan, salah satu hal yang istimewa ketika menjalani puasa di Madinah adalah sambutan masyarakat kota itu menjelang berbuka puasa. Mereka menyambut siapa pun yang datang ke Masjid Nabawi setelah Salat Asar layaknya keluarga jauh yang datang bertamu.
"Selepas Salat Asar, Masjid Nabawi yang luas itu serasa sempit. Warga Madinah berebut menggelar tempat untuk membukakan orang-orang berpuasa. Tidak saja di bagian dalam, tapi juga di halaman, bahkan sampai ke jalan-jalan. Dan apabila kita datang ke masjid pada waktu itu, kita akan diperebutkan oleh mereka. Tangan kita ditarik-tarik agar duduk di tempat mereka," kenang Abah Hafi.
Usai berbuka, lanjut Abah Hafi, mereka dengan cekatan membereskan sisa-sisa makanan dengan waktu yang singkat. Sehingga jemaah bisa menggelar Salat Magrib berjemaah.
"Makanan yang disediakan untuk berbuka itu ditaruh di atas tikar plastik berukuran panjang. Setelah selesai tinggal digulung saja," terangnya.
Abah Hafi menyebut, warga Madinah luar biasa dalam menyambut tamu-tamu Allah ketika Ramadan.
Di tahun 2016 lalu, sambung Abah Hafi, puasa di Tanah Suci berlangsung 14 hingga 15 jam lamanya. Namun baginya itu bukan kendala berarti.
"Selama 16 hari di Tanah Suci, hampir tidak ada kendala. Kita niatkan ibadah. Apalagi di tempat yang pahalanya dilipat-gandakan," ucapnya.
Abah Hafi berkeinginan, kenangan itu bisa terulang lagi di tahun-tahun berikutnya.
"Mudah-mudahan ada yang kedua dan seterusnya," harap Abah Hafi.
Baca Juga:Makanan Ini Disebut Bagus untuk Menjaga Tubuh Selama Puasa
Baca Juga:Mau Bantu Berbuka di Masjid Jami, Berikut Biayanya