bakabar.com, BANJARMASIN – Masifnya kebakaran lahan khususnya gambut di Kalimantan Selatan coba disiasati dengan pembangunan sumur bor. Karena rusak, puluhan sumur bor yang selesai dibangun 2017 tak lagi bisa difungsikan. Sengkarut dalam penanganan infrastruktur gambut ini rupanya tak terlepas dari ketidakjelasan wewenang. Tanggung jawab siapa?
Setelah sebelumnya gagal dikonfirmasi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Universitas Lambung Mangkurat angkat bicara.
Lembaga tersebut mengakui telah mengerjakan seluruh pembangunan sumur bor di Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjarbaru itu.
Totalnya sebanyak 50 buah, masing-masing di Kelurahan Syamsudin Noor sebanyak 20 titik, dan sisanya di Kelurahan Guntung Payung. Semuanya berada di lahan gambut.
Selain sumur, ada juga lima buah mesin penyedot air.
Kedua peralatan tersebut sejatinya guna restorasi dan perlindungan gambut. Seharusnya sumur-sumur itu dapat berfungsi dan menyediakan air manakala musim kemarau tiba. Lahan dan hutan khususnya gambut umum diketahui sangat rentan terbakar.
Baca Juga:Aliran Listrik Kalselteng Kembali Normal
BPBD mencatat, luas lahan yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Selatan, totalnya mencapai 2.005 hektare didominasi kawasan gambut dan lahan kosong. Luas lahan yang terbakar merupakan akumulasi sejak 1 Januari hingga 14 September 2018.
Pengurus Pusat Kajian Kebencanaan LPPM ULM Rosalina, kepada bakabar.com memastikan proyek sumur telah selesai dikerjakan.
“Proyek sumur bor ini kami sebagai pihak ketiga, ULM sebagai pihak kedua. Pemberi dana adalah Wetland International Indonesia (WII),” ungkapnya.
Dia menjelaskan, pengerjaan proyek ini dilakukan selama setahun, tepatnya pada rentang 2016-2017. Pengerjaan ini menghabiskan dana Rp338 juta, untuk alokasi biaya survei, pelatihan, pengadaan dan peralatan 50 sumur, serta alat dan bahan pembuatan.
Setelah selesai pengerjaan, pengecekan oleh WII sebagai pemberi dana telah dilakukan. Itu, sebelum diserahterimakan.
Dan LPPM memastikan, kondisi maupun kontruksi kala diserahterimakan sesuai dengan teknis yang diharapkan. Baik ukuran pipa, kedalaman, pengecekan debit air dan panjang semprotan.
“Sumur bor jika dalam jangka waktu yang panjang tidak difungsikan. Memang ada kemungkinan dapat mengalami kemacetan,” ujarnya.
LPPM kata dia tidak mendapatkan kewenanangan memanajemen maupun memaintenance pasca pembuatan sumur bor.
“Dalam kontrak itu tidak ada,” sambungnya.
“Hanya saja, sebelum ditinggalkan, sumur bor ini sudah kami serahkan kepada kecamatan Landasan Ulin pada awal 2017 yang lalu,” ujarnya.
“Dan laporan juga sudah kami serahkan kepada WII sebagai pemberi dana. Selama ini terkait pengerjaan juga selalu berkomunikasi dengan pemberian dana,” sambungnya lagi.
Hampir semua sumur tak berfungsi, terang saja membuat masyarakat setempat mengeluh. Sudah empat kali kebakaran, sesuai catatan RT setempat, tak tertanggulangi dengan baik. Selain kerusakan, mayoritas sumur yang menurut warga jauh dari sumber air menjadi persoalan lain. Soal ini, LPPM masih akan mendiskusikannya dengan para petinggi ULM.
“Karena untuk tanggung jawab pekerjaan sebenarnya sudah selesai, pada waktu serah terima itu,” ucapnya.
Ditanya soal posisi Badan Restorasi Gambut (BRG) Kalimantan Selatan dalam proyek sumur bor ini dirinya enggan menjawab.
Sampai berita ini diturunkan belum ada pernyataan resmi dari BRG. Ketua Tim Restorasi Gambut (TRG) Kalimantan Saut N. Samosir masih tak menjawab panggilan telepon yang coba dilayangkan media ini guna konfirmasi.
Kualitas Jadi Pertanyaan
Berdasar pantauan lapangan bakabar.com, dari puluhan titik sumur yang berada di lahan gambut, sebagian besar di antaranya bahkan tak berfungsi sama sekali.
Misalnya saja di Tegal Arum RT 42 Kelurahan Syamsudin Noor. Kondisi ini mengundang keluhan sebagian warga.
"Lima titik sumur bor yang berada di tempat kami, tidak bisa digunakan sama sekali. Pipanya terlalu kecil, bahkan tidak mengeluarkan air saat hendak dipakai," ungkap Helmi, ketua RT setempat.
Mangkraknya puluhan sumur ini turut dibenarkan oleh Pantau Gambut, yang merupakan koalisi 23 lembaga swadaya masyarakat (LSM). Lembaga ini berfokus memantau restorasi dan perlindungan gambut di Indonesia.
Pantau Gambut menyayangkan atas temuan lapangan di mana hanya tiga dari 50 sumur bor di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, yang berfungsi baik.
“Saat ini sumur-sumur bor tersebut terbengkalai karena ketidakjelasan wewenang dalam pemanfaatannya dan sebagiannya lagi terdampak pembangunan jalan dan perluasan bandara,” kata Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Muhammad Teguh Surya dalam konferensi pers di Jakarta, dilansir ANTARA, medio Oktober silam.
Pantau juga mengatakan, sumur-sumur bor itu tidak terletak di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang menjadi prioritas restorasi gambut di Kalimantan Selatan.
Penentuan lokasi pembangunan proyek sumur bor, proses pembangunan dan kontraktor sumur bor yang berujung pada tidak maksimalnya fungsi sumur bor, menjadi persoalan lain.
Seharusnya, masih menurut Pantau, sumur bor itu dipastikan dapat berfungsi dan menyediakan air apalagi saat musim kemarau seperti ini di mana lahan dan hutan akan rentan terbakar.
Koordinator Simpul Jaringan Jambi Feri Irawan menambahkan kualitas peralatan untuk infrastruktur gambut harus diperhatikan dan diperiksa untuk menjamin alat berfungsi sesuai kebutuhan.
Sepanjang pantauan dilakukan,selang yang dipasang ke sumber air mudah lepas. Alhasil, saat penyemprotan dilakukan, air menjadi sulit keluar.
“Alat-alat juga berpengaruh pada pemadaman api dan membasahi gambut. Kalau mau kasih proyek alatnya harus terjamin kualitasnya, jangan yang biasa-biasa tapi tidak berfungsi dengan baik,” ujarnya.
Kepala Sub Pokja Kemitraan, Resolusi Konflik dan Pegaduan Badan Restorasi Gambut (BRG) Eko Novi Setiawan mengatakan pihaknya terus melakukan upaya-upaya untuk penanganan restorasi gambut.
Dia mengajak semua pihak untuk terlibat dalam memulihkan ekosistem gambut dan mencegah karhutla.
“Mari kita awasi restorasi ini bersama-sama,” ujarnya.
Dia juga mengatakan pihaknya terbuka bagi masukan positif untuk perbaikan internal BRG dan upaya-upaya dalam mempercepat restorasi gambut.
Hingga akhir 2017, BRG menyatakan telah melakukan program pembasahan terhadap 200.000 hektar.
Pada Januari 2018, BRG mengklaim pencapaian restorasi gambut seluas 1,2 juta hektar hingga akhir 2017.
Pemerintah Indonesia menargetkan hingga 2020, seluas 2,49 juta hektar lahan gambut direstorasi di tujuh provinsi yakni Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua dan Papua Barat.
Baca Juga:Sengkarut Penanganan Api di Lahan Gambut Kalimantan Selatan
Reporter: Zepy Al AyubiEditor: Fariz Fadhillah