Religi

Ulama Wanita yang Bersembunyi dari Nama Besar Sang Paman

apahabar.com, BANJARMASIN – Penulis Kitab “Parukunan Jamaluddin”, Syekhah Fatimah merupakan seorang ulama di masanya. Namun menariknya,…

Featured-Image
Ilustrasi. Foto-mubadalahnews.com

bakabar.com, BANJARMASIN - Penulis Kitab "Parukunan Jamaluddin", Syekhah Fatimah merupakan seorang ulama di masanya. Namun menariknya, beliau tak menuliskan nama di karyanya. Siapa sebenarnya ulama ini?

Syekhah Fatimah diketahui adalah cucu dari Ulama Besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dari anak perempuannya yang bernama Syarifah dan bersuami Syekh Abdul Wahab Bugis (sahabat Syekh Muhammad Arsyad).

Tumbuh di keluarga ulama besar membuat Syekhah Fatimah mudah mendapatkan ilmu agama. Ayahnya, Syekh Abdul Wahab Bugis dan ibunya Syarifah, bukanlah orang sembarangan.

Keduanya memiliki ilmu yang mumpuni. Jika sang ayah adalah alumni Tanah Suci, Sang ibu adalah anak sekaligus murid dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Syekhah Fatimah dikabarkan menguasai berbagai ilmu agama. Seperti, Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ushuluddin, dan Fiqih. Dia bersama dengan saudara seibunya -Muhammad As'ad-, gigih menyebarkan agama Islam di Tanah Banjar. Jika saudaranya menjadi guru di kalangan laki-laki, Syekh Fatimah menjadi guru di kalangan wanita.

Baca Juga: "Parukunan Jamaluddin" Ternyata Ditulis Ulama Perempuan Berdarah Banjar-Bugis

Namun di zaman itu, Syekh Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang tak lain adalah paman dari Syekhah Fatimah, menjabat sebagai Mufti Kerajaan Banjar. Sehingga menurut Ahmad Juhaidi (2009) dalam tulisannya yang berjudul"Untuk Kartini di Tanah Banjar", ada dua kemungkinan mengapa Kitab Parukunan diatasnamakan Mufti Jamaluddin.

Pertama, pihak kerajaan hanya mengakui otoritas ilmu agama Islam hanya dipegang oleh mufti kerajaan yang dijabat oleh Syekh Jamaluddin. Fatwa keagamaan yang tidak dikeluarkan mufti tidak diakui dalam struktur Kerajaan Banjar ketika itu. Bisa jadi, jikaparukunanitu diklaim sebagai tulisan Fatimah, bukan mufti kerajaan, beragam hukum fiqih dalamParukunantidak diakui kebenarnnya.

Kedua,Fatimah melihat kepentingan yang lebih besar dengan tidak ditulisnya namanya sebagai pengarangParukunantersebut. Dengan mencantumkan nama Syekh Jamaluddin, kitab itu akan cepat diakui kerajaan dan masyarakat luas, dan Fatimah, barangkali sebagai keponakan merasa berkewajiban menghormati pamannya yang notabene pemegang otoritas Islam tertinggi di Kerajaan Banjar.

Baca Juga:Kapal Datu Kelampayan Hampir Tenggelam, Ternyata Jin Ini Pelakunya

Sumber: abusyahmin.blogspot.com dan Alif.id
Editor: Muhammad Bulkini



Komentar
Banner
Banner