bakabar.com, PALU – Media sosial kembali dihebohkan dengan keberadaan buaya di Sungai Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), yang terlilit ban. Upaya terus dilakukan, meski si predator kerap kabur.
Operasi penyelamatan buaya berkalung ban di Sungai Palu yang dimuai sejak Kamis (6/2) lalu. Namun hingga kini masih belum membuahkan hasil.
Padahal operasi dilakukan dengan melibatkan petugas gabungan dari Balai Konservasi dan sumberdaya alam (BKSDA) Sulteng dan NTT, Polair Polda Sulteng, dan petugas dari Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan.
Berbagai upaya telah dilakukan tim, dimulai dari menyisir muara sungai Palu dengan menggunakan perahu karet, mengumpan buaya dengan menggunakan ayam, hingga memasang jala di Sungai Palu yang dianggap sebagai titik yang kerap munculnya buaya tersebut.
”Tadi sempat masuk dalam pukat, tapi karena arus deras di bagian bawah sungai sehingga lolos lagi,” ungkap Haruna, Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Sulteng dikutip bakabar.com dari Antara, Sabtu (8/2).
Selama dua hari evakuasi, Crocodylus Porosus dengan lilitan ban di lehernya tersebut hanya terlibat kucing-kucingan dengan sejumlah petugas yang menyasarnya.
Sebab, buaya ini hanya muncul sekian detik ke permukaan, kemudian kembali memunculkan diri di tempat berbeda-beda.
Tidak hanya itu, menurut Haruna, salah satu kendala yang dialami oleh tim adalah banyaknya warga Palu yang menyaksikan secara langsung evakuasi tersebut, sehingga menjadi kendala untuk penyelamatan buaya.
”Kendalanya terlalu banyak masyarakat yang datang. Karena baru buaya muncul sedikit saja sudah luar biasa teriakan,” jelasnya.
Selama evakuasi, Tim penyelamat buaya ini masih mencoba menggunakan metode harpun atau menombak buaya berkalung ban tersebut.
Harpun sendiri adalah tombak dengan ujung yang tajam dan di ujung lainnya diikatkan tali. Alat ini biasa digunakan untuk menangkap ikan atau mamalia laut besar seperti Paus.
Menurut Haruna, harpun yang dipakai untuk mengevakuasi ini sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga saat ditombakkan, harpun tersebut hanya melukai bagian kulit buaya. Sementara itu untuk metode kerjanya, Haruna mengaku bahwa sama persis dengan memancing ikan.
”Metode kerjanya persis sama dengan mancing, tapi tidak bisa langsung ditarik tetapi kalau satwanya kena, dibuat dia lemas kemudian kita bisa giring ke pinggir menggunakan tali yang terikat di harpun.” jelasnya
Evakuasi akan kembali dilanjutkan pada hari Sabtu. BKSDA Sulteng sendiri masih akan terus melakukan evakuasi sampai buaya tersebut terselamatkan dari lilitan ban.
”Kami masih akan menggunakan metode harpun dan juga akan lakukan lagi metode-metode lain, tergantung hasil evaluasi,” tambahnya.
Sejak 2016 Terlilit Ban
Sejak kemunculannya pada 2016, buaya berkalung ban di Palu menyita perhatian warga. Sejak itu pula BKSDA Sulteng telah mencoba untuk menyelamatkan dan melepaskan ban dari leher buaya tersebut.
Beberapa usaha di antaranya dengan jala yang diberi pemberat dan menggunakan kerangkeng. Namun, upaya itu tak berhasil.
Bahkan, Panji petualang pernah mencoba menangkap dan melepaskan kalung ban dari buaya tersebut. Sayang, upaya itu juga gagal dilakukan.
Pada 2020 ini, BKSDA kemudian mengeluarkan sayembara untuk melepaskan ban di leher buaya.
“Makanya sayembara itu kami buat. Barang siapa yang mampu mengeluarkan ban dari leher buaya itu akan mendapat hadiah yang setimpal. Tapi tidak ada DP, cash. Begitu keluar langsung bayar dengan mendapatkan penghargaan dari BKSDA,” kata Kepala BKSDA Hasmuni Hasmar kepada wartawan, belum lama ini.
Hasmuni tak menyebutkan berapa dana yang disiapkan untuk sayembara itu. Namun, sayembara itu akhirnya dihentikan karena sepi peminat. Setelah upaya sayembara gagal, BKSDA memutuskan membentuk satgas yang di dalamnya terdiri dari Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Sulawesi Tengah serta tim dari KKH Jakarta.
Pasca-bencana alam, BKSDA belum mendata kembali soal populasi buaya yang ada di sungai Palu.
Namun, sebelum gempa pada September 2018, tercatat buaya di sungai Palu ada 37 ekor. Saat ini diperkirakan jumlahnya semakin bertambah.(ant/kps)
Baca Juga:BKSDA Gelar Sayembara untuk Bebaskan Buaya dari Lilitan Ban
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin