bakabar.com, JAKARTA - Sedari Indonesia berdaulat hingga kini, seringkali hanya tersebut tujuh nama pemimpin negeri: Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, Jokowi.
Padahal, republik ini sejatinya masih memiliki dua tokoh lain yang juga memangku jabatan tertinggi di pemerintahan.
Keduanya adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat – paduka sesaat yang luput tercatat.
Mereka menduduki posisi kepala negara tatkala Indonesia sedang berada dalam situasi darurat.
Sjafruddin merupakan pendiri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, kala kedaulatan negara yang baru seusia jagung kembali diusik Belanda.
Sementara itu, Mr Assaat menduduki kursi pimpinan sebagai pejabat (acting) presiden Republik Indonesia.
Inisiatif Sjafruddin
Di penghujung tahun 1948, tepatnya pada 19 dan 20 Desember, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II.
Serangan tersebut berhasil melumpuhkan pemerintahan Indonesia yang ketika itu berbasis di Yogyakarta.
Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan sederet pemimpin bangsa lainnya tertangkap.
Mereka diasingkan ke luar Jawa. Pemerintahan Indonesia pun terancam tamat jika tidak segera diambil tindakan.
Atas dasar inilah, Sjafruddin bersama Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, juga Loekman Hakim berinisiatif mendirikan PDRI di Bukittinggi.
Sjafruddin ditunjuk sebagai ketua, perdana menteri, sekaligus menteri keuangan untuk kabinet mendadak itu.
“PDRI bukan saja membantu menopang modal semangat juang, tetapi juga membuat Belanda lebih sulit lagi menghindari tanggapan-tanggapan terhadap tindakan-tindakan yang hendak diajukan oleh PBB,” demikian Mumuh Muhsin merawikan peran PDRI dalam MR. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989): Sang Penyelamat Eksistensi Negara Proklamasi Republik Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan Republik selama 207 hari. Pada 13 Juli 1949, dia mengembalikan mandat kepada Bung Karno. Selang beberapa bulan, Belanda akhirnya mengaku kedaulatan RI secara penuh.
Pesan Pemimpin Bangsa yang Tak Tersampaikan
Selama masa gawat tahun 1948, sebenarnya para pemimpin bangsa juga punya rencana untuk membentuk kabinet darurat.
Bung Karno dan sejumlah menteri yang menghadiri rapat sepakat mengabari Sjafruddin di Buktittingi.
Melalui siaran telegram, mereka meminta pria kelahiran 28 Februari 1911 itu untuk mendirikan pemerintahan darurat, membentuk kabinet, serta mengambil alih pemerintah pusat.
Tepatnya pada 19 Desember, pemimpin bangsa mengirimkan telegram berisi, “Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Republik Indonesia Darurat di Sumatra.”
Namun, pesan tersebut tak pernah sampai di telinga Sjafruddin. Mandat itu rupanya terhalang jaringan radio; Belanda memusnahkan stasiun radio dan kantor telekomunikasi selama menyerbu Yogyakarta.
“Sebenarnya saya seorang presiden…”
Meski sempat memimpin Indonesia selama 207 hari, Sjafruddin mulanya enggan disebut sebagai presiden. Dia lebih suka dipanggil dengan istilah ‘Ketua PDRI.’
Kepada Pelita edisi 6 Desember 1978, Sjafruddin mengungkapkan alasannya tidak suka disematkan titel presiden.
Dia berujar, “Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati.”
“Andaikata saya tahu tentang adanya mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya,” sambung Sjafruddin.
Dia kembali menegaskan, meski menggunakan istilah Ketua PDRI, dirinya sebenarnya adalah seorang Presiden Indonesia dengan segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945.
Serta, diperkuat oleh mandat Soekarno dan Mohammad Hatta, yang kala itu tak bisa bertindak sebagai presiden dan wakil presiden.
Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat
Selang beberapa bulan usai Sjafruddin menyerahkan kembali kekuasaan tertinggi kepada Soekarno, Pemerintah Indonesia melantik Mr Assaat sebagai 'acting. Tepatnya pada 27 Desember 1949, Bung Karno memimpin langsung upacara pelantikan tersebut.
Ketika itu, pengembalian kedaulatan sepenuhnya dari Belanda, membuat negeri ini membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) – dengan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan perdana menteri.
Alhasil, terjadi kekosongan di kursi Kepresidenan Republik Indonesia (RI). Inilah sebabnya, Mr Assaat dilantik menjadi presiden yang bertugas memimpin pemerintahan RI ketika negara ini resmi mengadopsi bentuk serikat.
Pria kelahiran 18 September 1904 itu segera membentuk pemerintahan yang berkedudukan di Yogyakarta. Dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu oleh sejumlah tokoh.
Mandat acting presiden diserahkan kembali kepada Bung Karno pada 15 Agustus 1950. Peristiwa ini ditandai dengan pembacaan Piagam Penyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Soekarno.
Atas jasa-jasanya itu, tak sedikit kalangan yang menganggap Sjafruddin dan Mr Assaat layak masuk ke dalam daftar presiden Indonesia. Meski nama keduanya tak tercatat dalam riwayat, perjuangan mereka nyata adanya.