Histori

Setelah Idulfitri, Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat

Umat Muslim di Pulau Jawa tak cuma menyemarakkan hari raya di momen Idulfitri. Sepekan setelahnya, mereka kembali menggelar perayaan Lebaran Ketupat

Featured-Image
Ilustrasi lebaran ketupat. Foto: Parapuan.

bakabar.com, JAKARTA - Umat Muslim di Indonesia, lebih tepatnya suku Jawa, tidak cuma menyemarakkan hari raya di momen Idulfitri. Sepekan setelahnya, mereka kembali menggelar perayaan yang disebut Lebaran Ketupat.

Sesuai namanya, masyarakat Muslim di Pulau Jawa umumnya menghidangkan ketupat dalam perayaan tersebut. Mereka pun membawa sayur, sambal goreng, dan bubuk kedelai ke tempat kenduri untuk didoakan, sebelum akhirnya disantap bersama.

Tradisi ini memang nihil dijelaskan dalam Alquran, pun tidak dirayakan oleh Nabi Muhammad. Meski demikian, Lebaran Ketupat terus melanggeng dalam budaya Jawa, sebagai cara untuk memanjatkan syukur kepada Sang Pencipta.

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi, sebagaimana dikutip dari laman NU, mengatakan tradisi kupatan mulai berlangsung di masa Wali Songo. Masyarakat Jawa meyakini bahwa Sunan Kalijaga-lah yang memperkenalkan kebiasaan tersebut.

Lebaran Ketupat sejatinya diadaptasi dari tradisi yang sudah mendarah daging di Indonesia: selametan. Kebiasaan ini lantas dijadikan sarana guna mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Tuhan, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari lebaran.

Seiring berjalannya waktu, sebagian orang memaknai Lebaran Ketupat sebagai hari raya bagi orang yang menjalankan puasa pada bulan Syawal.

Perayaan ini merupakan bentuk apresiasi untuk umat Muslim yang menjalankan puasa Syawal.

Sarat Filosofis

Makna Lebaran Ketupat tak berhenti di situ. Secara filosofis, tradisi tersebut dimaknai sebagai penebusan dosa.

Hal ini tercermin dari bentuk anyaman ketupat yang polanya cukup rumit dan digambarkan sebagai dosa dan kesalahan manusia yang harus ditebus.

Lebih tepatnya, anyaman yang rumit itu mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia. Sedangkan, warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan.

Begitu pun dengan kata “kupat” atau “ketupat” sendiri, yang bermakna “mengakui kesalahan” sebagaimana diambil dari bahasa Jawa, ngaku lepat.

Sehingga, sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan dengan cara memakan ketupat tersebut.

Ketupat juga dianggap sebagai penolak bala. Caranya sedikit berbeda, yakni dilakukan dengan menggantung ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, sampai kering.

Ketupat yang biasanya disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng pun memiliki makna filosofis. Santan, yang notabene salah satu bahan dalam opor ayam, bermakna “pangapunten” alias memohon maaf dalam bahasa Jawa.

Saking dekatnya kupat dengan santan, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idulfitri: Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten.

Editor


Komentar
Banner
Banner