Histori

Kartini dan Privilege: Kombinasi yang Wujudkan Emansipasi Wanita Indonesia

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini. Perjuangan kesetaraan gender tak terlepas dari privilege Kartini yang berasal dari kalangan priyai

Featured-Image
Raden Ajeng Kartini

bakabar.com, JAKARTA - Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini. Ini merupakan bentuk penghormatan atas perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam mewujudkan emansipasi wanita. 

Siapa sangka, rupanya perjuangan kesetaraan gender tak terlepas dari ‘privilege’ Kartini yang berasal dari kalangan priyayi. Berstatus bangsawan Jawa, dirinya diperbolehkan mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS).

Di sisi lain, tradisi Jawa yang begitu mendarah daging dalam keluarga Kartini membuatnya terpaksa ‘berdiam diri’ di rumah sedari berusia 12 tahun. Dia sebetulnya ingin melanjutkan pendidikan, namun tak kesampaian.

Keinginan itu tak bisa terpenuhi lantaran Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, pada 1903. Enggan terkekang tradisi, Kartini mencari caranya sendiri agar tetap bisa ‘melihat’ dunia luar.

Salah satunya, dengan berkirim surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Dia mulai menunjukkan ketertarikan pada kemajuan berpikir perempuan Eropa melalui buku-buku, koran, dan majalah keluaran Benua Biru itu.

Surat-surat yang dikirimkan menguraikan pemikiran Kartini terkait berbagai masalah, termasuk tradisi feudal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, serta pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.

Putri pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah ini lantas menuangkan pemikirannya lewat tulisan-tulisan, yang beberapa kali dimuat di De Hollandsche Lelie. Kala itu, usianya bahkan baru menginjak 14 tahun.

Babak Baru setelah Pernikahan

Tak berselang lama, di usia yang masih belia, Kartini menikah dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Lagi-lagi, dia bisa dibilang ‘beruntung’ sebab suaminya mendukungan tekad Kartini untuk memperjuangkan emansipasi.

Salah satu bentuk dukungan itu, ialah Kartini diizinkan mendirikan sekolah wanita. Tempat para srikandi pribumi belajar ini berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Tak cuma suportif, Kartini pun merasa horison pemikirannya kian berkembang usai dipinang sang Bupati Rembang.

Di sini, di mana suami saya bersama saya memikirkan segala sesuatu, di mana saya turut menghayati seluruh kehidupannya, turut menghayati pekerjaannya, usahanya, maka saya jauh lebih banyak lagi menjadi tahu tentang hal-hal yang mula-mula tidak saya ketahui,” tulis Kartini kepada Nyonya Abendanon yang menjadi sahabat penanya.

Sayang, Kartini tak bisa melangkah lebih jauh untuk memperjuangkan kaum hawa di Tanah Air. Sebab, dia meninggal usai melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 17 September 1904 di usia 25 tahun.

Warisan Kartini untuk Wanita Pribumi

Meski sudah berpulang ke pangkuan Tuhan pada 1904, perjuangan Kartini tak pernah padam. Sejumlah surat berisi cita-cita Kartini yang pernah dia kirimkan pada sahabatnya, dikumpulkan oleh Jacques Abendanon untuk dibukukan.

Alhasil, pada 1911, terbitlah buku bertajuk Door Duisternis tot Licht. Lebih dari satu dekade setelahnya, atau pada 1922, buku itu diterjemahkan oleh sastrawan pujangga baru, Armin Pane, dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang wanita pribumi, sangat menarik perhatian orang Belanda. Di sisi lain, hal itu juga mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.

Salah satunya adalah Van Deventer, tokoh Belanda yang memperjuangkan politik etis. Dirinya bahkan sampai menulis sebuah resensi untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang dia rasa cocok dengan cita-citanya sendiri.

Pemikiran-pemikiran Kartini pun tak ubahnya menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Berkatnya, wanita-wanita di negeri ini bisa mendapat hak yang setara dengan kaum adam.

Editor


Komentar
Banner
Banner