News

Yayasan Sativa Klaim Ganja Medis Tak Memabukkan

apahabar.com, JAKARTA – Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Musri Musman mengklaim pemberian senyawa cannabidiol (CBD) dari…

Oleh Syarif
Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Musri Musman mengungkapkan pemberian senyawa cannabidiol (CBD) dari tanaman ganja kepada penderita penyakit cerebral palsy tak memberikan efek kecanduan maupun memabukkan. Foto-iStockphoto/Tinnakorn Jorruang

apahabar.com, JAKARTA – Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Musri Musman mengklaim pemberian senyawa cannabidiol (CBD) dari tanaman ganja kepada penderita penyakit cerebral palsy tak memberikan efek kecanduan maupun memabukkan.

Musri juga memastikan CBD terbukti mampu mengobati penderita cerebral palsy terutama meredakan tremor hingga kejang.

Hal itu Musri sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (30/6).

“Sudah ditemukan bukti bahwa pemberian 300 miligram hingga 600 miligram (CBD) per hari kepada si penderita cerebral palsy tidak mendatangkan mabuk, tidak membahayakan, tidak mendatangkan adiksi, tidak menunjukkan withdrawing atau exit daripada pemberian yang terlampau besar,” kata Musri, kutip CNNIndonesia.com.

Menurutnya, takaran maksimal pemberian CBD berada pada angka 1.500 miligram. Secara teknis, CBD dapat diberikan dengan cara ditaruh di bawah lidah, dengan cara merokok, atau diuapkan. Cara-cara tersebut dijelaskan Musri akan memberikan efek yang berbeda.

Ahli dari Universitas Syiah Kuala itu juga mengungkap banyak dokter yang mulai melirik manfaat CBD dalam pengobatan berbagai jenis penyakit. Dengan demikian, ia mendorong agar pemerintah segera melegalisasi ganja medis di Indonesia melalui revisi UU Narkotika.

Pasalnya dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 pasal 6, ganja termasuk narkotika yang dimasukkan sebagai golongan I.

Meski dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Namun, di Pasal 8 UU, narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan dapat dikenakan pidana.

“Pasal itu tentu yang mencegah peneliti-peneliti untuk memanfaatkan ganja ini dalam kapasitasnya menolong sesamanya,” ujar Musri.

Dalam agenda rapat yang sama, Komisi III DPR RI juga telah mempertimbangkan usulan agar tanaman ganja dikeluarkan dari narkotika golongan I. Perubahan kategori narkotika itu dimaksudkan agar ganja dapat digunakan sebagai terapi atau pengobatan medis.

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengaku setuju ganja masuk dalam golongan narkotika II atau III. Ia pun akan membahas masalah ini dalam revisi UU Narkotika.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga telah menyatakan pihaknya akan menerbitkan regulasi untuk akses penelitian ganja medis di Indonesia.

Penelitian akan melibatkan sejumlah peneliti dari perguruan tinggi Indonesia dan farmakolog.