Wayang Suluh

Wayang Suluh, Pagelaran Wayang tentang Kemerdekaan Indonesia

Wayang Suluh mendedikasikan ceritanya tentang kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia.

Pagelaran Penerangan Wayang Suluh. Foto: dok. mobgenic

apahabar.com, JAKARTA - Wayang Suluh mendedikasikan ceritanya tentang kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia. 

Pada 7 November 2003, UNESCO mengakui wayang sebagai warisan budaya asli Indonesia, dalam pertunjukannya wayang menonjolkan karya seni budaya seperti seni peran, suara, musik, tutur, sastra sebagai seni perlambangan.

Menurut riset Guritno, Agus Ahmad, staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta, dalam artikelnya berjudul "Keberagaman Kreasi Kriya Wayang Kulit", mencatat bahwa setidaknya terdapat 55 wayang di Indonesia, yang terbanyak adalah wayang dari bahan kulit perkamen.

Wayang Suluh

Menurut Sunardi dkk (2018) dalam artikel “Karya Cipta Pertunjukan Wayang Perjuangan sebagai Penguatan Pendidikan Bela Negara”, Wayang Suluh merupakan wayang genre perjuangan paling terkenal pada saat itu, dengan lakon perjuangan mengusir Belanda. Sekaligus sebagai media penyampaian kepada rakyat mengenai peristiwa yang tengah terjadi pada masa tersebut.

Melalui media ini, masyarakat diberikan informasi mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa dan waspada terhadap pihak lain yang ingin memecah persatuan bangsa.

Namun sayangnya, Wayang Suluh tidak dimasukan dalam tabel susunannya, yang menyebutkan jenis wayang sebanyak 28 jenis. Antara lain Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Menak, Wayang Wahyu, Wayang Golek, Wayang Sasak, Wayang Betawi, Wayang Banjar, Wayang Palembang, Wayang Golek Menak, Wayang Klithik, Wayang Beber, Wayang Topeng, dan Wayang Jemblung.

Wayang suluh memiliki tokoh-tokoh yang menyerupai representasi para pahlawan kemerdekaan, seperti Presiden Soekarno, Moh Hatta, Amir Syarifuddin, Bung Tomo, dan lain lain.

Wayang Kulit Suluh Soekarno dan Hatta. Foto: dok. metrum

Adapun lakon-lakon yang ditampilkan adalah lakon dengan cerita revolusi, seperti proklamasi 17 Agustus 1945, Sumpah Pemuda, Perang Surabaya 10 November, Naskah Perjanjian Linggar Jati, Perjanjian Renville, serta permasalahan pembangunan di Indonesia.

Seperti pagelaran wayang pada umumnya, maka pagelaran Wayang Suluh juga diiringi oleh gamelan, orkes atau musik lainnya dengan memainkan lagu-lagu yang disenangi masyarakat serta lagu-lagu perjuangan. Seperti lagu Selabinta, Pasir Putih, Mars Pemuda, Sorak-sorak Bergembira, dan lain sebagainya.

Sejarah dan Perjalanan Wayang Suluh

Sejarah Wayang Suluh sendiri bermula pada tahun 1902, oleh R.M Sutarto Harjowahono asal Surakarta, yang pada awalnya hanya menceritakan kisah keseharian yang realistis bagi masyarakat.

Suluh memiliki arti penerangan, pencerahan. Dan Wayang Suluh memiliki makna wayang yang diperuntukan untuk memberikan penerangan dan pencerahan bagi rakyat.

Nama Wayang Suluh merupakan hasil sayembara, yang diadakan bersamaan dengan pagelaran wayang untuk pertama kali tampil secara publik.

Seiring berjalannya waktu Wayang Suluh mendapatkan momennya, pada 10 Maret 1947, pagelaran Wayang Suluh ini pertama kali diselenggarakan dalam rangka perjuangan kemerdekaan RI, bertempat di Gedung Balai Rakyat Madiun, Jawa Timur.

Penyebaran Wayang Suluh kemudian dilakukan di seluruh Jawa dan Madura oleh Dewan Pimpinan Pemuda pada 1947, dengan membagikan 52 set Wayang Suluh pada wakil DPP.

Pada masa itu, pagelaran ini dihadiri sekitar 700 orang, diantaranya adalah pejabat dari militer, menteri, hingga Presiden Soekarno dan rakyat sipil.

Setelah itu pemerintah RI sempat menggunakan Wayang Suluh sebagai media penyebar informasi, penyuluhan, dan alat penerangan khususnya kepada masyarakat desa.