KRISIS AIR BERSIH JAKARTA

Warga Jakarta Sebut Swastanisasi Air Melanggar HAM

Swastanisasi air yang sudah berjalan hingga 25 tahun ini melanggar peraturan daerah.

Warga Jakarta mengantre ari bersih dari tangki. (Foto: Tirto.id)

apahabar.com, JAKARTA -Sejumlah warga layangkan surat peringatan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi beserta seluruh jajarannya di gedung Balaikota terkait swastanisasi air di Jakarta, Senin (30/01).

Dalam surat peringatan itu, warga menuntut agar Pemerintah Provinsi melakukan evaluasi terhadap kerjasama antara pemerintah dengan Palyja dan Aetra yang akan berakhir 31 Januari 2023. 

Swastanisasi air yang sudah berjalan hingga 25 tahun ini melanggar peraturan daerah, dimana pemerintah seharusnya menyediakan layanan air bersih sesuai dengan Undang-undang Pasal 33 ayat (3) 1945. Dalam peraturan tersebut, hak atas air bersih dijamin oleh negara.

Baca Juga: DPRD Sentil PAM Jaya karena Masih Ada Warga Jakarta yang Memikul Air Bersih

Hal ini kontradiktif dengan praktik yang dilakukan oleh pemerintah DKI. Alih-alih mengevaluasi kerjasama selama 25 tahun, Pemerintah dan PAM Jaya justru sudah menandatangani kontrak baru dengan PT Moya Indonesia pada 14 Oktober 2022 lalu.

Swastanisasi air yang secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan konstitusi, terus dilakukan atas dasar pemenuhan kebutuhan air bersih.

Logika pincang ini dinilai warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak Atas Air (GERAK) sebagai kebijakan asal-asalan.  Warga juga cemas jika praktik ini akan berpotensi timbul akibat dari kebijakan baru yang mengatur pengelolaan air di DKI Jakarta.

Baca Juga: 80 Persen Air Tanah Jakarta tidak Penuhi Standar Kualitas Menkes

Jihan Fauziah Hamdi, Pengacara Publik LBH Jakarta yang juga tergabung dalam Gerak menyatakan ada tiga poin penting dalam penolakan swastanisasi ini.

"Pertama, swastanisasi Air Jakarta telah melanggar Hak Asasi Manusia dan Konstitusi terkait pemenuhan hak atas air warga DKI Jakarta. Fakta bahwa perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan Palyja dan Aetra selama 25 tahun telah mengakibatkan kerugian bagi warga DKI Jakarta," tuturnya.

Dalam kasus swastani air KPK dan BPKP bahkan sudah menyampaikan rekomendasi setelah melakukan pemeriksaan terhadap proses addendum perjanjian kerjasama swastanisasi air pada September-Oktober 2020 lalu, bahwa proses addendum tersebut harus dihentikan karena adanya temuan fraud (kecurangan) dalam perpanjangan addendum PAM Jaya dan Aetra.

"KPK sudah merekomendasikan Pemprov DKI Jakarta untuk menunggu agar perjanjian PDAM DKI Jakarta dan PT. Aetra selesai tahun 2023, jika sudah selesai pengelolaan air bersih di DKI Jakarta harus dikembalikan kepada PDAM DKI Jakarta seluruhnya," imbuhnya lagi.

Baca Juga: DPRD Sentil PAM Jaya karena Masih Ada Warga Jakarta yang Memikul Air Bersih

Di sisi lain, kerugian tersebut tidak akan terjadi apabila Pemprov DKI Jakarta mematuhi ketentuan pengusahaan air berdasarkan UUD 1945, berbagai tafsir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015, Majelis Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa (vide: Pasal 33 ayat (4) UUD 1945). Celakanya, Pergub DKI 7/2022 secara jelas tidak mencantumkan UU 17/2019. 

Pemprov DKI Jakarta menitikberatkan pada wewenangnya sebagai Pemerintah Daerah, tetapi telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak atas air Warga DKI Jakarta.

Baca Juga: Bendungan Sepaku Semoi Bisa Kendalikan Banjir dan Suplai Air Bersih di IKN

Masih menurut Jihan proses transisi hingga dibentuknya Pergub 7/2022 dilakukan secara tidak partisipatif, transparan dan akuntabel. Padahal, Pasal 2 UU 17/2019 telah mengatur asas Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu kemanfaatan umum, keterjangkauan, keadilan, keseimbangan, kemandirian, kearifan lokal, wawasan lingkungan, kelestarian, keberlanjutan, keterpaduan dan keserasian, dan transparansi dan akuntabilitas. 

"Dengan tertutupnya proses pelaksanaan Pergub DKI 7/2022, Warga DKI Jakarta tidak memiliki dasar untuk menguji kebijakan publik yang akan mempengaruhi hajat hidupnya, setidak-tidaknya Pengelolaan Sumber Daya Air harus memiliki asas transparansi dan akuntabilitas," ungkap dia. 

"Selanjutnya, rencana pengelolaan air Jakarta dinilai tidak didasari atas evaluasi secara menyeluruh perjanjian kerja sama dengan Palyja dan Aetra, dan berpotensi mengulangi permasalahan serupa sebab tidak didasarkan pada UU SDA. 

Baca Juga: Basuki: 2024, Korsel Berpartisipasi dalam Bangun Sistem Air Bersih di IKN

Lebih lanjut, Pergub DKI 7/2022 tidak secara spesifik menjelaskan bagaimana mekanisme Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP), yang akan dilakukan dalam skema bundling penyelenggaraan pengelolaan air di DKI Jakarta. 

Selain itu, tidak jelasnya pembagian risiko sebagai suatu aspek penting dalam skema KPBU/PPP. Ketidakjelasan tersebut tentu akan berpotensi melanggengkan pelanggaran hak atas air dan masalah yang terjadi di masyarakat dalam konteks air di DKI Jakarta. 

Terakhir, Gerak menganggap Pemprov DKI Jakarta telah gagal dalam mendasari kebijakannya pada pengusahaan air. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, berbagai tafsir dalam Putusan MK, UU 17/2019, serta telah gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia dari Warga DKI Jakarta, berdasarkan Kovenan Ekosob. 

"Seharusnya yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah melakukan proses evaluasi secara menyeluruh, partisipatif dan akuntabel dalam proses pengelolaan air Jakarta serta memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat dengan cara melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013," tutupnya.