Wanita Dalam Sinema

Wanita dalam Sinema: Bersuara bagi Mereka yang Bungkam

Eksistensi wanita dalam sinema membingkai etape dengan kisahnya yang beragam. Nama dan peran yang dilakonkan identik dengan sebuah masa.

Wanita dalam pentas film di Indonesia. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Eksistensi wanita dalam sinema membingkai etape dengan kisahnya yang beragam. Nama dan peran yang dilakonkan identik dengan sebuah masa, bahkan menciptakan segmen penontonnya sendiri.

Dalam dekade dan era menghadirkan deretan tokoh dari layar lebar maupun layar kaca yang memberikan kekuatan bagi para penontonnya. Sebut saja tokoh Saleha (Rima Melati) dari "Intan Berduri" (1972).

Ada juga Asih (Christine Hakim) dari film "Daun di Atas Bantal" (1998), Marlina (Marsha Timothy) dari "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak" (2017), hingga pahlawan super wanita Alana (Pevita Pearce) dalam film "Sri Asih" (2022).

Beranjak ke era milenium, manakala para siswi sekolah dasar seakan berlomba untuk memamerkan bekal permen cokelat warna-warni dan plester luka di siku hingga dahi yang tak kalah menyilaukan mata. Rasanya, saat itu semua anak perempuan ingin menjadi seorang gadis cilik pemberani seperti di "Petualangan Sherina" (2000).

Tokoh dalam Film dan Tren Penonton

Semua seakan membentuk sebuah tren dan kepercayaan diri bagi para penonton wanita di Tanah Air dari tahun ke tahun. Bahwa perempuan bisa menjadi tangguh, namun tetap memiliki sisi lembut dalam menghadapi isu-isu dan rintangan yang tak ada habisnya untuk dibahas.

Bagi Mikha Tambayong ("Teluh Darah", "Critical Eleven"), terjun ke dunia akting membuatnya belajar menjadi manusia -- melihat dunia dalam beragam perspektif.

"Aku merasakan bahwa ini adalah privilege yang tidak bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku bisa menjadi orang lain, memengaruhi cara aku berpikir, memiliki lebih banyak empati dan kepekaan," pengakuan Mikha yang dilansir ANTARA (12/12).

Tentu, rasanya menyenangkan bisa memiliki sosok jagoan yang bisa diidolakan, apalagi ketika sosok itu merupakan tokoh utama dalam sebuah film.

Tak hanya memberikan tontonan hiburan, namun, di banyak tempat, juga menginspirasi banyak perempuan muda untuk ikut terlibat dan membuat film dengan pesan yang serupa.

Film sendiri adalah sesuatu yang dapat dirasakan, dapat diresapi. Film dapat menyentuh hati seseorang, dapat mengoyak emosi dalam diri, dapat membuka wawasan dari berbagai sudut pandang.
Para Sineas Wanita dan Pertaruhannya

Di sisi lain, film juga merupakan media visual. Namun, wanita dan pria mengalami dunia mereka secara visual dengan cara yang unik dan berbeda.

Para pembuat film wanita di berbagai belahan dunia seakan kompak dan tak ragu untuk mengeksplorasi makna kewanitaan dalam cerita mereka, dan memanfaatkan feminitas tersebut untuk berbagi pengalaman mereka di dunia dengan ragam isu kompleks yang menyelimutinya.

Tidak diragukan lagi bahwa para pembuat film wanita di dunia, termasuk Indonesia, memiliki bakat untuk menampilkan cerita-cerita ini. Namun, apa yang membuat karya-karya mereka begitu mengena di hati dan terasa segar, adalah bukan dari bakat atau narasi. Melainkan, cara mereka menceritakan kisah-kisah tersebut.

Kebanyakan film yang diarahkan oleh sutradara wanita bertumpu pada kata "bagaimana" karya bisa terasa dekat dengan audiens, bagaimana perasaan penonton sesaat setelah credit title bergulir, bagaimana cerita itu tersampaikan dari perspektif dan hati tiap individu di dalamnya dan menggugah diskusi.

Lantas, Bagaimana Pesan Tersampaikan?

Kebanyakan film yang diarahkan oleh sutradara wanita bertumpu pada kata "bagaimana" karya bisa terasa dekat dengan audiens, bagaimana perasaan penonton sesaat setelah credit title bergulir, bagaimana cerita itu tersampaikan dari perspektif dan hati tiap individu di dalamnya dan menggugah diskusi.

Apa yang mungkin membuat film jadi terasa sulit untuk "dinikmati" penonton bukan karena adegan pemerkosaan yang eksplisit, namun karena hal tersebut diambil dari sudut pandang korban.

Ini kembali pada poin tentang bagaimana para pembuat film ini bekerja menghadirkan cerita dari sudut pandang yang dekat dengan mereka, serta mengajak dunia melihat dan merasakan itu semua. Ketulusan mereka dalam membuat film, kemarahan mereka akan sesuatu, hingga keinginan mereka untuk bersuara bagi mereka yang tak bisa berteriak.