Kalsel

Walhi Kalsel Pertanyakan Kemampuan Gubernur, Atasi Pelanggaran Industri Ekstraktif

apahabar.com, RANTAU – Bekas galian tambang yang dibiarkan menganga begitu saja telah memakan korban jiwa. Akibat…

Sisa rumah imbas tanah longsor di Desa Kintap Lama, Kabupaten Tanah Laut. Foto-Dok. Walhi Kalsel

apahabar.com, RANTAU – Bekas galian tambang yang dibiarkan menganga begitu saja telah memakan korban jiwa. Akibat carut-marut pengelolaannya, juga ada dampak ekologis yang mengintai masyarakat sekitar.

Minggu kemarin, seorang pemancing ikan bernama Kasyful Anwar (40) warga dari Desa Pakutik, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar ditemukan mengapung tak bernyawa.

Pria 40 tahun itu hilang sejak Jumat (12/6) di eks galian tambang yang belakangan diduga adalah milik PD Baramarta, pemilik izin PKP2B.

Belakangan, Walhi Kalsel mempertanyakan kemampuan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor dalam menyikapi dugaan pelanggaran berat industri pertambangan.

“Kami mempertanyakan kemampuan pemerintah provinsi Kalsel dalam menjalankan kewenangan yang mereka miliki,” ujar Kepala Dapartemen Kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja kepada apahabar.com.

Bencana ekologis yang masih sering terjadi di Kalsel akibat kegiatan pertambangan dan tak adanya penegakan hukum terhadap para pelaku.

Dikatakan Jefry, merujuk ke Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemprov memiliki kewenangan cukup luas dan tegas dalam bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

"Harusnya, gubernur Kalsel sebagai kepala daerah menunjukkan kemampuannya. Kemampuan itu indikatornya, ada tindakan tegas pemprov terhadap para pelaku kerusakan ekologis, terutamayang berhubungan dengan pertambangan," ujar Jefry. kepada apahabar.com.

Tanah longsor di wilayah operasi tambang batubara DKJ, desa Kintap Lama, Kintap, TanahLaut. Foto-Doc. Walhi Kalsel

Catatan Walhi Kalsel, dampak ekologis yang paling terasa adalah tanah longsor di Desa Kintap Lama, Kabupaten Tanah Laut.

Longsor yang terjadi pada 18 Juni 2017 itu mengakibatkan hilangnya tanah seluas 1 hektare, sembilan rumah, rusaknya jalan dan jembatan.

“Longsor yang terjadi di wilayah operasi CV Datra Katama Jaya (DKJ) menyebabkan warga Desa Kintap Lama mengungsi,” terang Jefry.

Lebih lanjut, permasalahan yang menimpa warga Desa Kintap Lama itu bermula dari datangnya CV DKJ yang mengantongi izin pertambangan batu bara dari bupati Tanah Laut bernomor 545/08-IUP.OP/DPE/2010.

“Status perusahaan itu clear and clean (CNC). Menurut warga kepada Walhi Kalsel, sejak 2008 DKJ sudah melakukan survei di sekitar permukiman mereka,” tutur Jefry.

Dari ingatannya, beberapa lahan warga itu telah dibebaskan. Walau demikian, persoalan jual-beli tanah lalu muncul.

Sebagian tanah dijual oleh bukan pemilik sah. Anehnya, surat keterangan kepemilikan baru di atas tanah yang masih ada pemiliknya justru terjadi.

Waktu itu awalnya warga hanya menjual tanah kebun dan sawah. Pada 2012, warga mulai menjual tanah beserta tanaman tumbuh dan bangunan di atasnya.

Harga tanah dilaporkan berkisar antara Rp450 ribu sampai 1,7 juta per meter persegi. Karena tak memiliki pilihan lain, warga terpaksa menjual tanah mereka.

Sejak DKJ beroperasi berbagai masalah muncul. Tanah longsor mulai terjadi pada Januari 2017.

“Pada 17 April 2017 warga melaporkan hal itu ke Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) Tanah Laut. Menurut warga kepada Walhi Kalsel, tanah longsor terjadi bukan karena bencana alam.Dinas menyimpulkan telah terjadi pencemaran dan pengrusakan lingkungan,” ceritanya.

Kala itu, Dinas DPRKPLH Tanah Laut juga menyatakan DKJ telah melanggar Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Masih dari Jefry, DKJ juga diketahui tidak memiliki izin pembuangan air limbah dan pengelolaan limbah B3.

Dinas itu juga membenarkan laporan warga bahwa telah terjadi longsoran tanah di lokasi tambang batu bara yang hanya berjarak 50-120 meter dari Sungai Kintap.

“Ya, lalu pada Minggu 18 Juni 2017, terjadilah longsor seluas 1 hektare tanah. Air dari Sungai Kintap pun masuk memenuhi lubang tambang seluas 12,27 hektare dalam waktu sekitar 1,5 jam. Menurut warga lubang tambang memiliki kedalaman 40 meter, sehingga volume lubang tambang adalah 4.920.000 m3 atau 4,92 miliar liter,” terang Jefry.

Sesuai analisis Walhi kala itu, air sungai yang mengalir ke lubang tambang berkecepatan 992.593 liter/detik. Volume air yang ditelan lubang tambang itu mampu mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat Kalsel selama 22 hari.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menambahkan perusahaan terbilang lambat dalam menyelamatkan warga.

Kata Kisworo, bencana ekologis yang disebabkan pertambangan batu bara tidak bisa hanya dinilai secara materi.

Penggantian kehilangan tanah, perumahan dan alat produksi mungkin saja bisa diganti dengan uang. Namun sesuatu yang sifatnya "non use value" seperti suasana kampung halaman yang ramah dan keindahan alam tentunya harus dihitung dengan valuasi ekonomi lingkungan yang tepat.

"Tentunya kehilangan semua itu adalah sesuatu yang harus dibayar mahal oleh perusahaan dan pemerintah yang berperan sebagai pemberi izin. Bukan hanya sebatas bantuan bahan pokok selama di penampungan. Namun selepas dari penampungan, masyarakat yang telah kehilangan segalanya. Akibat pertambangan mereka tak lagi memiliki aset seperti sebelumnya," ujarnya pria yang akrab disapa Cak Kis itu.

Anehnya, penguasa wilayah yang memiliki kewenangan dalam hal pertambangan tak bereaksi positif dan mendorong adanya penegakan hukum terhadap perusahaan seperti DKJ.

"Ini perusahaan berkategori CnC. Kok dibiarkan. Harusnya gubernur yang memimpin penegakan hukum itu," tandas Cak Kis.

Jangan Terulang

Tanpa ketegasan gubernur, peristiwa serupa seperti di Desa Kintap Lama akan bisa terjadi lagi.

Hal itu dijelaskan Manajer Data dan Kampanye Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat. Hingga kini Kalsel memiliki izin tambang seluas 1,2 juta hektare.

“33 persen dari keseluruhan wilayah Kalsel,” jelas dia.

Dari luas itu yang telah direklamasi hanya 67,9 persen dan direvegetasi seluas 29,8 persen.

"Artinya penegakan hukum dalam soal reklamasi patut dipertanyakan," ujar Rizqi.

Menurut Rizqi, kasus di Kintap Lama selain menunjukkan tidak ditegakkannya hukum, juga telah menyalahi banyak peraturan.

Misalnya, pertambangan tidak seharusnya berada di wilayah permukiman, fasilitas umum, dan bantaran sungai.

Di Tanah Laut, terdapat izin pertambangan batu bara yang masuk ke wilayah permukiman seluas 464,50 hektare.

Sementara seluas 3.020,91 hektare izin tambang batu bara hanya berjarak kurang dari 500 meter dari permukiman.

“Dari 150 izin pertambangan batu bara di Tanah Laut, 38.889,87 hektare berada di kawasan hutan dan sepanjang 395,87 km sungai melintasi izin pertambangan,” ujarnya.

Dalam hal ini, baik perusahaan pertambangan maupun pemberi izin diduga telah melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batu Bara.

Kata Rizky, dalam peraturan tersebut disebutkan jarak pertambangan dengan fasilitas umum dan pemukiman minimal 500 meter.

"Dari data itu, sangat mungkin hal yang terjadi di Kintap Lama akan terulang di lokasi yang lain. Harusnya pemerintah lokal mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan pertambangan batu bara yang tidak sesuai dengan perundang-undangan," kata Rizqi.

Editor: Fariz Fadhillah