Sejarah Indonesia

VOC dan Permainan 'Boneka' Politik Jawa di Perjanjian Giyanti

Permainan boneka oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) banyak dilakukan di tanah Jawa. Perannya dimainkan oleh Direktur VOC.

Ilustrasi konflik dalam kerajaan mataram islam. Foto: Tribun

apahabar.com, JAKARTASejarah permainan boneka oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) banyak dilakukan di tanah Jawa. Perannya dimainkan oleh Direktur VOC.

Melansir dari National Geographic, Gubernur Jenderal VOC Nicholaas Hartingh menjadi salah satu nama yang tercatat sering melakukan intervensi dalam konflik di tanah Jawa.

Banyak keterlibatannya dimainkan untuk memecah kerajaan demi merebut kekuasaan di tanah yang kaya akan rempah-rempah itu. Namun, tidak sedikit intervensi dari kongsi asal belanda itu dilakukan untuk meredam konflik.

Keterlibatan Hartingh yang begitu dalam babad Jawa juga diungkap Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya bertajuk Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 yang diterjemahkan dan diterbitkan pada 2002.

Baca Juga: Belanda Kembalikan Ratusan Artefak Curian Zaman Kolonial ke Indonesia

Mendamaikan Perpecahan Internal Kerajaan Mataram Islam

Perjalanan Hartingh sebagai boneka Belanda yang berhasil mendamaikan konflik diawali ketika ia kembali ke Surakarta pada tahun 1755. Saat itu, ia menemukan kraton sedang dalam kondisi yang tidak harmonis dan mengalami sejumlah kehancuran akibat pemberontakan dan perang.

Konflik internal itu bermula dari perpecahan di dalam Kerajaan Mataram Islam yang melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said.

Kala itu terjadi pengangkatan Pangeran Prabasuyasa yang bergelar Pakubuwana II sebagai raja baru. Namun, Raden Mas Said yang merupakan anak dari Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) meminta haknya sebagai pewaris tahta Kesultanan Mataram Islam.

Konflik bertambah runyam karena keputusan Pakubuwana II yang ingin memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745 M.

Baca Juga: Sejarah Stasiun Parakan, Jalur Tembakau di Masa Penjajahan Belanda

Hartingh mendorong Pakubuwana untuk mau bernegoisasi dan memberi sebagian kekuasaannya, sehingga tidak akan ada penggulingan dalam Susuhunan kraton.

Namun Pakubuwana III punya kehendak lain, ia lebih memikirkan untuk berbagi rénte (uang pendapatan sewa) dengan Mangkubumi daripada kehilangan sama sekali wilayahnya.

Pada tanggal 9 Februari 1755, Nicholaas Hartingh tiba di kaki gunung Lawu, tepatnya di Desa Giyanti.  Ia secara pribadi menemui Mangkubumi yang telah mendirikan istana sementaranya di sana. Dalam kunjungan itu Hartingh didampingi Kartabasa (Ki Bestam) sebagai penerjemah.

Ia lalu menjelaskan niat Pakubuwana III untuk menyerahkan kekuasaannya dengan mengikat suatu perjanjian damai. Hartingh meminta kesediaan Mangkubumi untuk menyetujuinya.

Setelah melalui diskusi panjang, Mangkubumi dan Pakubuwana akhirnya sepakat untuk mengikat sebuah perjanjian di Desa Giyanti. Perjanjian itu yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti.