Virus Marburg Tak Ada di Indonesia, Warga Kalsel Jangan Panik

Angka kematian akibat penyebaran virus marbug terbilang tinggi yakni mencapai 80 persen.

Dinkes mengimbau warga Kalsel agar tak perlu panik dengan penyebaran virus Marburg. Foto-Antara

apahabar.com, BANJARBARU - Angka kematian akibat penyebaran virus Marbug terbilang tinggi yakni mencapai 80 persen. Meski begitu warga Kalimantan Selatan tak perlu panik, sebab virus tersebut tidak terdeteksi di Indonesia. 

"Masyarakat tak perlu panik," imbau Kepala Dinas Kesehatan Kalsel, dr. Diauddin, Selasa (21/2).

Diauddin meminta masyarakat tetap menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit apapun. Dia juga meminta warga untuk selektif terhadap informasi yang diterima terkait virus Marbug. 

"Selalu jaga kesehatan dan selalu berperilaku hidup sehat," ujar Diauddin.

Baca Juga: Dosen UII Kelahiran Banjar yang Hilang Rutin Keluar-Masuk AS

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan virus Marburg pertama kali ditemukan oleh virologis di Marburg dan di Frankfurt, Jerman pada 1976. Namun saat kasus merebak, belum diketahui bahwa penyakit tersebut disebabkan virus Marburg.

Saat itu, kasus serupa juga ditemukan di kota Belgrade, Serbia. Pasien mengalami demam dibarengi perdarahan, serta tingkat kematian yang tinggi.

"Setelah diperiksa akhirnya ditemukan saat itu bahwa ini ada virus dari keluarga Filoviridae namanya. Ini satu keluarga dengan ebola virus yang juga satu kelompok itu," terang Dicky dilansir dari detikcom, Rabu (15/2/2023).

Baca Juga: Kecam Aksi Rasis, Klopp Sebut Vinicius Jr Bakal Jadi Legenda Real Madrid

"Itu kematiannya hampir sama dan ini bisa sampai 88 persen, bahkan ada yang sampai 90 persen. Paling buruk. Jadi sangat mematikan. Tapi menular, sangat menular. Terutama dari cairan tubuh dari si pasien," sambungnya.

Virus Marburg pada awalnya menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Namun kemudian seiring wabahnya, menular dari pasien ke pasien lain melalui cairan tubuh.

Meski perjalanan penyebaran penyakit ini relatif lambat, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat perjalanan antar negara kini semakin tinggi.

"Karena manusia mengkonsumsi atau terkontaminasi dari kotoran dari hewan kelelawar itu yang menempel di buah, atau produk, atau produk lain yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Khususnya di Afrika sana atau pun bisa saja di daerah tropis lain yang memiliki potensi kelelawar buah yang sama," terangnya.

Baca Juga: 2 Pekerja Bangunan di Tarjun Kotabaru Tersengat Listrik, 1 Dilarikan ke Rumah Sakit

"Sejauh ini endemiknya memang masih di Afrika, tapi kita harus mewaspadai apalagi dengan pelajaran dari pandemi Covid-19," pungkas Dicky.