Viral Murid SMA/SMK di NTT Wajib Masuk Sekolah Jam 5 Pagi, Efektifkah?

Pembelajaran bagi murid Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dimulai pada pukul 05.00 pagi tengah menjadi sorotan.

Ilustrasi. Foto-Net

apahabar.com, BANJARMASIN - Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat soal waktu pembelajaran bagi murid Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dimulai pada pukul 05.00 pagi tengah menjadi sorotan.

Video Instruksi Gubernur Viktor ini viral di media sosial dan grup WhatsApp. Menurut Viktor, instruksi tersebut bagus untuk membangun etos kerja dan agar tidak ada tambahan rombongan belajar.

Namun, waktu pembelajaran bagi murid SMA/SMK tersebut apakah efektif untuk memajukan lembaga pendidikan, khususnya di NTT?

Salah seorang pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengatakan, setiap kebijakan apa pun terkait pendidikan harus dilakukan berdasarkan kajian akademik yang memadai. Selain itu menurutnya konteks masuk sekolah pukul 5 pagi di NTT dinilai bertentangan dengan riset mengenai aktivitas otak manusia.

"Aktivitas otak manusia itu mulai aktif jam 08.00 pagi, makanya anak-anak masuk jam 08.00 pagi karena secara fisik saraf-saraf otak lebih siap," kata Doni seperti dilansir dari kompas.com, Rabu (1/3).

Kendati demikian ia banyak menemui beberapa sekolah yang masuk sebelum waktu tersebut, seperti pukul 7 dan pukul 6 pagi. Tak heran, anak kerap merasa mengantuk dan malas karena otaknya belum siap untuk beraktivitas.

Doni menyebut kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 tersebut juga tidak menyelesaikan akar persoalan pendidikan di NTT. Menurut pandangannya, persoalan pendidikan di wilayah tersebut lebih pada kualitas guru serta sarana dan prasarana pembelajaran.

"Pendidikan di NTT tertinggal itu ya kualitas guru dan sarana prasarana membuat pengalaman belajar menjadi tidak sesuai dengan harapan. Berarti harusnya solusi di situ, bukan tiba-tiba minta masuk sekolah jam 05.00 pagi," Jelasnya.

Selebihnya ia menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan harus dilakukan berdasarkan kajian dan riset yang baik, serta dialog dengan pemangku kepentingan. Kemudian eksekusi kebijakan juga harus melibatkan partisipasi publik, seperti pemerintah daerah, sekolah, pengelola, orangtua, bahkan siswa yang terkena dampak.