Kalsel

Upaya Pemerintah Hindia Belanda Dulu, Menjaga Esksitensi Pelabuhan Lama

apahabar.com, BANJARMASIN – Hambatan kondisi alam yang tidak bersahabat sangat dominan dalam operasional Pelabuhan Lama Banjarmasin…

Kapal Armada KPM dan NISM di Pelabuhan Lama, Banjarmasin. Foto-KITLV, Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen, Tropenmuseum.

apahabar.com, BANJARMASIN – Hambatan kondisi alam yang tidak bersahabat sangat dominan dalam operasional Pelabuhan Lama Banjarmasin tahun 1901-1930 an. Lalu bagaimana menjaga pelabuhan ini tetap eksis dalam perdagangan interinsuler?

Apakah pemerintah Hindia Belanda mulai kehilangan akal. Tentunya tidak. Menurut Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Mansyur mengatakan, endapan lumpur Sungai Barito dan Sungai Martapura beserta sejumlah besar anak sungai bermuara di sekitar pelabuhan (lama) Banjarmasin bisa ditanggulangi. Mesin pengeruk lumpur dioperasikan.

“Sayang, pengoperasian alat penyedot lumpur tersebut agak mengganggu jalur pelayaran kapal lalu lintas perdagangan,” ucapnya kepada apahabar.com, Minggu (21/07/2019) pagi.

Selain pengerukan lumpur, kata dia, berdasarkan laporan Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederland sch Indische Havens dalam Susilowati (2004), dilakukan perbaikan sarana pelabuhan.

Yakni, perbaikan emplasemen yang sudah ada. Caranya, dengan menggali sebuah anak kanal. Pembuatan anak kanal dimaksudkan agar gudang-gudang di dalam kompleks deanne dapat dicapai dengan perahu.

“Langsung dari sungai, tanpa tergantung pada dermaga schroefpaal. Dengan cara ini aktivitas bongkar muat barang lebih mudah,” cetusnya.

Peningkatan kondisi fisik pelabuhan antara tahun 1924-1925 kembali dilakukan. Upayanya, dengan perbaikan kembali emplasemen douane dengan menggali sebuah kanal.

Kanal ini sepanjang 125 meter, yang menghabiskan biaya sebanyak fl. 91.355.

“Setidaknya itulah yang dituliskan dalam laporan Verslag van de Kleine Haven in Neder-landsch Indie, 1924-1925,” tambahnya.

Selain itu juga direncanakan untuk mengadakan perbaikan emplasemen pelabuhan dengan anggaran biaya sebesar fl. 4.600.

Pada sisi lain, sebut dia, Susilowati (2004) memaparkan selain kekurangan di kompleks pelabuhan, pada jalan masuk ke pelabuhan pun terdapat kelemahan.

Pada lokasi sekitar Kota Banjarmasin terdapat semacam teluk. Teluk ini mengganggu kelancaran lalu lintas kapal-kapal yang akan masuk ke pelabuhan.

“Untuk mengatasinya, Dinas Pelabuhan telah mengusulkan kepada pemerintah melakukan penggalian,” ungkapnya.

Apakah pemerintah Hindia Belanda tidak takut merugi?

Dengan mempertimbangkan posisi Banjarmasin sebagai sebuah pelabuhan yang diusahakan (untuk aktivitas perdagangan), maka besarya biaya yang dikeluarkan akan teratasi oleh hasil yang akan diperoleh.

“Apalagi, pelabuhan Banjarmasin sangat tergantung pada jaringan lalu lintas air dengan daerah pedalaman,” paparnya.

Sementara itu, perairan sungai sekitar Banjarmasin dalam kondisi tidak cukup dalam. Akibatnya pada musim kemarau, ketika permukaan air sungai turun, kapal-kapal uap kecil dan perahu-perahu motor yang akan berlayar ke Kahayan atau kota-kota kecil lainnya di sekitar Banjarmasin tidak dapat menempuh pelayaran dalam.

Harus melalui pelayaran laut yang tentunya kurang cocok untuk ukuran kapal-kapal bersangkutan.

Ketergantungan pelabuhan Banjarmasin pada daerah pedalaman sangat tinggi. Karena itu menurut K. Broersma, dalam tulisannya Handel en Bedriff in Zuid en Oost Borneo, sangat perlu pemeliharaan perairan sungai yang dalam secara terus-menerus.

Tujuannya, agar tetap dapat dilayari menjadi lebih mendesak daripada perbaikan perairan di luar pelabuhan, di mana terdapat endapan lumpur yang tidak mudah dihilangkan.

Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada, khususnya dengan tersedianya potensi ekspor yang melimpah dari daerah pedalaman, Banjarmasin akan mampu menempatkan diri sebagai pelabuhan terbaik di Kalimantan Selatan.

Dari segi regulasi, status Pelabuhan Martapura sebagai pelabuhan yang diusahakan baru diperoleh pada tahun 1925 dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 19 tanggal 25 November 1925.

“Kemudian dituangkan dalam Staatsblad No. 60311925. Keputusan itu selanjutnya direvisi dengan besluit No. 14 17 Oktober 1933 atau Staatsblad No. 616 tahun 1933,” katanya.

Dalam perkembangannya hingga tahun 1942, ujar dia, menurut Susilowati (2004) tepatnya dua hari sebelum tentara Jepang masuk ke kota Banjarmasin, pelabuhan Martapura dibumihanguskan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pelabuhan yang cukup ramai itu nyaris rata dengan tanah. Gudang gudang dan kompleks kantor pelabuhan porak poranda.

Bangunan tertinggal hanya jembatan pendaratan (dermaga) sepanjang 248 meter yang sebagian juga rusak karena politik bumi hangus yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang pelabuhan Martapura dibangun kembali. Jembatan pendaratan diperpenjang 100 meter lagi sehingga menjadi 348 meter.

Sejak saat itu pelabuhan Martapura memiliki dua dermaga. Pertama, dermaga lama sepanjang 243 meter dengan lebar 10,5 meter dimana lantai dermaga dan konstruksi penunjangnya berbahan kayu ulin (kayu besi).

Kedua, dermaga baru sepanjang 100 meter yang lantai dermaganya terbuat dari kayu biasa, tetapi konstruksi penunjangnya dari ulin (kayu besi).

Baca Juga: Weekend, Polsek Martapura Kota Kontrol Situasi di Area Makam Guru Sekumpul

Baca Juga: Cegah Karhutla, Polsek Simpang Empat Laksanakan Patroli Gabungan Tentukan Sumber Air

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin