Nasional

UMP 2022 Tak Berpihak ke Pekerja Media, AJI dan LBH Pers Buka Suara

apahabar.com, JAKARTA – AJI Indonesia dan LBH Pers menolak upah minimum provinsi (UMP) yang rata-rata secara…

AJI Indonesia dan LBH Pers menolak upah minimum provinsi (UMP) yang rata-rata secara nasional hanya naik secuil. Foto-Istimewa

apahabar.com, JAKARTA – AJI Indonesia dan LBH Pers menolak upah minimum provinsi (UMP) yang rata-rata secara nasional hanya naik 1,09 persen. Angka tersebut tidak layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja media, termasuk jurnalis.

Besaran kenaikan upah 1,09 persen itu merupakan buntut dari ketentuan baru Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, turunan langsung dari Omnibus Law UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.

Dalam PP Pengupahan, UMP ditetapkan tanpa melibatkan para pekerja. Meski terdapat peran Dewan Pengupahan untuk memberikan saran, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk memastikan keterlibatan pekerja dalam penentuan upah minimum.

Ketentuan upah minimum dalam PP Pengupahan, hanya memperhatikan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan hidup layak pekerja.

Sebagai gambaran di DKI Jakarta, UMP hanya naik Rp37.749 menjadi Rp4.453.935. Besaran upah ini cukup jauh dari kebutuhan upah layak jurnalis sebesar Rp 8.366.220, sesuai hasil survei AJI Jakarta 2021.

Bahkan beberapa provinsi tidak menaikkan UMP tahun 2022, salah satunya di Sumatera Selatan. Padahal hasil survei AJI Palembang menunjukkan upah layak jurnalis di sana sebesar Rp 5.730.433. Survei tersebut telah mempertimbangkan beberapa aspek serta kebutuhan khusus pada masa pandemi.

Kebijakan penetapan UMP 2022 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ditegaskan juga pada pasal 28D ayat (2) UUD 1945, terkait hak untuk bekerja, mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Penetapan UMP 2022 membuat kesejahteraan pekerja media makin terpuruk, setelah terdampak pandemi Covid-19.

Studi AJI Indonesia bersama International Federation Journalist (IFJ) yang melibatkan 700-an jurnalis di akhir 2020, mengungkap sebesar 83,5 persen jurnalis terdampak ekonomi dari pandemi, berupa pemotongan biaya kontributor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), PHK (5,9 persen), dan suspensi (4,1 persen).

AJI dan LBH Pers juga menilai rendahnya UMP 2022, dapat mengganggu profesionalisme jurnalis untuk memproduksi karya jurnalistik yang dibutuhkan publik.

Upah murah yang tak sesuai kebutuhan, membuat jurnalis rawan menerima suap dan gratifikasi yang mempengaruhi independensi. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers dan kaidah etika jurnalistik yang menuntut agar kerja-kerja jurnalis harus profesional, memihak kebenaran dan kepentingan masyarakat luas.

Penentuan upah minimum yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan layak ini, menambah daftar panjang pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan kepada pekerja media, khususnya pada masa pandemi.

Di Kupang, misalnya, kasus PHK sepihak dialami jurnalis Obed Gerimu dari Harian Timor Express (TIMEX). Data Posko Pengaduan COVID-19 LBH Pers dan AJI Jakarta pada 2020-2021, sebanyak 254 pekerja mengalami pelanggaran ketenagakerjaan, seperti pemutusan hubungan sepihak, pemutusan kerja tanpa kompensasi, pemotongan upah sepihak, upah tidak dibayarkan, hingga dirumahkan.

Berdasarkan catatan di atas, AJI Indonesia dan LBH Pers menyatakan sikap menolak UMP 2022 dan mendesak agar pemerintah:

1. Membatalkan penetapan UMP, UMR dan UMK tahun 2022 dan mengganti acuan pengupahan tahun 2022 sesuai dengan kebutuhan hidup layak dan kebutuhan saat pandemi Covid-19.

2. Meninjau ulang formulasi penghitungan upah minimum dan membuka ruang selebar-lebarnya kepada setiap elemen pihak pekerja bersama serikat pekerja dalam menentukan upah minimum.

3. Membatalkan Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan yang tidak melindungi kesejahteraan pekerja.

4. Melindungi hak- hak pekerja khususnya pada masa pandemi yang sangat rentan terjadinya berbagai pelanggaran.