UMKM Bingung Soal Modal? Platform Equity Crowdfunding Bisa Jadi Alternatif

Kemajuan teknologi memberikan pelaku UMKM banyak kemudahan untuk mendapat pendanaan. Salah satunya melalui Equity Crowdfunding.

CEO Bizhare, Heinrich Vincent. Foto: Twitter/@Vincentbizhare

apahabar.com, JAKARTA – CEO Bizhare Heinrich Vincent mengungkapkan saat ini Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masih ditemukan mengalami kesulitan dalam hal akses permodalan.

Meski begitu, perkembangan teknologi saat ini seharusnya dapat dimanfaatkan pelaku UMKM untuk mencari pendanaan. Salah satunya dapat menggunakan platform Equity Crowdfunding (ECF). Dengan begitu, UMKM dapat mulai mengurangi mencari modal usaha melalui institusi perbankan.

“Melalui ECF, UMKM tidak perlu lagi pusing mencari Investor atau capital venture yang mau berinvestasi,” ujarnya dalam Diskusi Bisnis Layak Investasi secara Virtual di Jakarta, Selasa (4/10).

Berdasarkan peraturan OJK No.37/POJK.04/2018 Pasal 1 Ayat 1, ECF merupakan penyelenggara layanan penawaran saham yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka.

Melalui platform tersebut, memungkinkan pemilik UMKM mendapat modal dari pendanaan dalam bentuk penjualan saham tanpa melalui bursa efek.

“Pendanaannya akan seperti di bursa efek. Karena itu, UMKM harus terbuka secara keuangan kepada investor,” imbuhnya.

Hal ini menjadi peluang bagi sebanyak 64 juta UMKM di Indonesia agar bisa mengembangkan diri menjadi naik kelas.

Seperti yang diketahui, bahwa UMKM memiliki kontribusi besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dengan persentase mencapai 61 persen. UMKM juga berkontrubusi besar sebagai penyerap tenaga kerja di Indonesia dengan daya serap mencapai 97 persen.

“Tapi, banyak UMKM yang masih menghadapi kendala untuk pendaftaran ECF,” ungkapnya.

Banyak UMKM di Indonesia, yang masih belum memiliki literasi dalam hal pencatatan keuangan dari kegiatan bisnisnya. Kegiatan pencatatan keuangan ini penting, untuk menyampaikan keadaan keuangannya secara terorganisir, sehingga dapat menarik kepercayaan dari investor.

“Kebanyakan pelaku bisnis masih menggunakan pencatatan secara tradisional, bahkan ada yang belum pernah catat keuangan,” kata Vincent sapaanya.

Tantangan lain yang dihadapi UMKM adalah kepekaan pelaku usaha terhadap penentuan waktu untuk mendaftarkan diri pada platform ECF. Vincent mencontohkan perusahaan travel yang mencoba datar pada ECF, saat pandemi dan berakhir dengan tidak mendapat pendanaan.

“Kalau seperti itu investor juga tidak mau investasi ke perusahaan travel yang waktu itu sedang ditutup pemerintah,” jelasnya.

Masalah terakhir yang sering dilakukan oleh pelaku UMKM yang ingin mendaftar adalah menyampaikan catatan keuangan yang sedang merugi. UMKM perlu memerhatikan catatan keuangannya.

Untuk menarik perhatian investor maka harus dipastikan dapat memberi profit. Alasannya, kata Vincent, bagi investor risiko penanaman modal berada di pihak UMKM, lebih tinggi dari pada pembelian kepemilikan atau saham di perusahaan besar.

“Harus diingat bahwa UMKM bukan startup, jadi pelaku usaha harus memastikan bisnisnya untung,” pungkasnya.