Tiga Mantan Bupati Batola Buka Suara Soal Pemindahan Ibu Kota ke Alalak

Diskusi soal wacana pemindahan ibu kota Barito Kuala (Batola) dari Marabahan ke Alalak, ikut membuat tiga mantan bupati andil suara.

Berbatasan dengan Banjarmasin, Alalak diwacanakan menjadi ibu kota baru Barito Kuala. Foto: Dokumen

apahabar.com, MARABAHAN - Diskusi soal wacana pemindahan ibu kota Barito Kuala (Batola) dari Marabahan ke Alalak, ikut membuat tiga mantan bupati andil suara.

Wacana itu pertama kali dicetuskan anggota Komisi II DPR RI dari Kalimantan Selatan, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, terkait pembangunan kota metropolitan Banjarbakula yang terintegrasi.

Meski Rifqinizamy berhak mengutarakan pendapat apapun, tetapi wacana tersebut langsung direspons banyak pihak. Termasuk di antaranya Bardiansyah Mudjidi, Eddy Sukarma dan Noormiliyani AS yang pernah menjadi bupati di Batola.

Bardiansyah Mudjidi yang menjadi bupati di Batola dalam periode 3 November 1998 hingga 3 November 2002, menyebut perubahan merupakan salah satu perkara dalam kehidupan. Pun tidak satupun yang tak dapat berubah dan diubah.

"Namun semua orang harus memperhatikan banyak hal agar tidak lupa diri, lalu membuat seolah orang-orang terdahulu tidak memiliki arti," papar Bardiansyah, Sabtu (7/1).

"Terkait pemindahan ibu kota Batola, sejarah pendirian kabupaten juga patut dipelajari dan dipahami. Maksudnya agar semua tindakan tidak semau gue dan tak menyimpang dari filosofi penuntut kabupaten," imbuhnya.

Tanpa pemahaman tersebut, dikhawatirkan pernyataan atau isu-isu dapat menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang yang tidak mengerti sejarah.

"Perlu diketahui bahwa pusat pemerintahan tidak selalu harus berada di tempat ramai dengan pertimbangan tersendiri," tukas Bardiansyah.

Baca Juga: Akademisi ULM Soroti Impian Pemindahan Ibu Kota Batola ke Alalak

Baca Juga: Legislator Kalsel Bicara Soal Pemindahan Ibu Kota Batola ke Alalak

"Pun pemindahan ibu kota sekarang tidak sangat mendesak, kecuali Banjarmasin berbatasan dengan negara lain. Tak cuma ibu kota kabupaten, saya yang mendukung Alalak dijadikan menjadi markas besar," tegasnya.

Bardiansyah juga meyakini posisi Marabahan sudah strategis, karena hampir berada di tengah-tengah Batola, baik dari Kuripan di ujung utara maupun Tabunganen di ujung selatan.

"Pembangunan di Batola juga berjalan baik, sesuai rencana strategis masing-masing kepala daerah. Semua akses ke kecamatan, maupun kabupaten maupun provinsi lain juga telah terbuka dan tinggal penyempurnaan," urai Bardiansyah.

"Makanya saya lebih cenderung membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, pasar dan normalisasi sungai dibanding pemindahan ibu kota," sambungnya.

Terkait opsi menjadikan Alalak sebagai kota satelit, Bardiansyah kembali menegaskan bahwa percepatan kemajuan di kawasan tersebut juga termasuk keberhasilan pembangunan di Batola.

"Kemajuan di Alalak hanya dampak pembangunan dari Banjarmasin dan sah-sah saja dikembangkan menjadi kota satelit. Namun jangan sampai lupa bahwa Alalak merupakan bagian dari Batola," jelas Bardiansyah.

"Makanya saya berharap masyarakat jangan cepat terpengaruh isu yang meresahkan dan tidak jelas. Dikhawatirkan itu bermuara kepada perpecahan yang menjadi kemunduran pembangunan," tegasnya.

Baca halaman selanjutnya: Bukan Isu Pertama

Bukan Isu Pertama

Senada dengan Bardiansyah, H Eddy Sukarma yang menjadi bupati di Batola dalam periode 3 November 2002 hingga 3 November 2007, juga menyebut pemindahan ibu kota tak semudah membalik telapak tangan.

"Sebenarnya wacana sejenis sudah pernah dialami Batola. Berangkat dari pengalaman, semua perubahan harus melalui kajian akademis terkait geografi, ekonomi dan sosial politik masyarakat, bukan sekadar pernyataan-pernyataan," tegas Eddy, Minggu (8/1).

"Kalau kemudian kajian akademis menguntungkan masyarakat dan memang diinginkan masyarakat, semuanya dikembalikan lagi kepada masyarakat," imbuhnya.

Pengalaman yang dimaksud Eddy Sukarma adalah wacana pembuatan kabupaten baru Bantam Raya (Berangas Anjir Tamban). Kemudian pembuatan provinsi baru bernama Barito Raya yang melibatkan Batola.

Untuk menyikapi wacana Barito Raya, lantas diundang tokoh-tokoh masyarakat dari semua kecamatan untuk membahasa isu-isu tersebut. Ternyata tidak semua sepakat, karena pertimbangan jarak.

"Akhirnya wacana Bantam Raya maupun Barito Raya terjawab, setelah Jembatan Rumpiang mulai dibangun, serta pemerataan pembangunan utara dan selatan Batola," beber Edy.

Eddy Sukarma yang juga putra H Abdul Aziz (Bupati Batola periode 6 November 1978-5 November 1983 dan 5 November 1983-15 Januari 1987), tak pernah terpikir memindah ibu kota.

"Sebelumnya kami tak terpikir memindah ibu kota Batola, karena membangun infrastruktur jauh lebih baik. Kemudian dari sisi sejarah, Marabahan tak bisa dipisahkan dari pendirian Batola," tegas Eddy.

Pembangunan Jembatan Rumpiang mempermudah akses menuju Marabahan yang sebelumnya hanya dapat dicapai menggunakan feri. Foto: Dokumen

Kesepakatan Mayoritas

Pemikiran Bardiansyah Mudjidi dan Eddy Sukarma, diamini Hj Noormiliyani AS. Mantan bupati perempuan pertama di Kalsel ini menegaskan pemindahan ibu kota Batola harus atas kesepakatan mayoritas masyarakat.

"Pemindahan ibu kota tidak bisa diputuskan oleh kehendak sebagian masyarakat, golongan tertentu, komunitas atau bahkan atas nama kepentingan politik," cetus Noormiliyani, Senin (9/1).

"Namun seandainya terjadi juga, tentu harus melewati uji publik dan referendum seluruh masyarakat Batola. Faktanya sejarah Marabahan sebagai ibu kota, tak luput dari nilai kearifan lokal," imbuhnya.

Noormiliyani yang menjabat bupati di Batola dalam periode 4 November 2017 hingga 4 November 2022, pun menekankan arti penting menghargai perjuangan para pejuang dan pemimpin terdahulu.

"Intinya keputusan pemindahan tersebut tidak bisa diambil sepihak hanya lewat DPRD atau demi kepentingan golongan dan politik," pungkas putri mantan gubernur Aberani Sulaiman ini.