Opini

Terkesan Berlebihan, Pakar Hukum UI Junaidi Saibih: Surat Pemanggilan Paksa Mestinya Tidak Diterbitkan

Media dalam beberapa waktu belakangan ini ramai memberitakan soal pemanggilan seorang saksi dalam perkara tindak pidana…

Kehadiran Mardani membuktikan dirinya kooperatif mendukung proses hukum terhadap mantan kadis ESDM Tanah Bumbu. Foto: Istimewa

Media dalam beberapa waktu belakangan ini ramai memberitakan soal pemanggilan seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, saksi tersebut adalah Mardani H Maming (Tempo.co). membaca pemberitaan yang marak tentang ketidakhadiran saksi karena alasan tertentu sebagaimana dalam pemberitaan tersebut diantaranya adalah karena yang bersangkutan sedang menjalani pengobatan di Singapura. Sidang yang dosebutkan dalam berita tersebut sedianya disidangkan oada tanggal 18 April 2022 yang dilakukan secara daring sebagaimana persetujuan majelis hakim dalam persidangan terdahulu. Namun uniknya ketika saksi telah bersedia hadir secara daring dan sudah berada di layar kemudian ketua majelis hakim menolak kehadiran saksi dan malah menerbitkan surat pemanggilan paksa terhadap saksi.

Padahal dalam persidangan tersebut, telah pula diperiksa secara daring atau virtual yaitu untuk saksi Lena Komala, Miranti dan Ahli Silhon Junior. Memperhatikan fakta tersebut, sangat mengherankan bagi saya, ketika saksi sudah hadir di layar yang jelas karena dalam persidangan sebelumnya memang sudah disetujui majelis untuk diperiksa secara virtual. Ada apa dibalik pemanggilan secara fisik yang dipaksakan tersebut? Terlebih instrument untuk pemeriksaan saksi secara virtual memang diperbolehkan oleh Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Penhgadilan Secara Elektronik (selanjutnya disebut PerMA 4/2020).

Dengan alasan untuk menanyakan kepada saksi secara langsung perihal SK yang diterbitkan oleh saksi selaku Bupati Tanah Bumbu. Bukan suatu sk yang akan ditanyakan tersebut tetap dapat ditanyakan kepada saksi secara virtual dengan mengirimkan sk aquo kepada saksi sebelum persidangan atau saat persidangan sehingga saksi dapat memeriksa di tempatnya seraya majelis hakim mengajukan pertanyaan atas SK Bupati tersebut. Jika memang alasannya hanya untuk menanyakan terkait SK aquo. Tulisan ini akan membahas terkait pemeriksaan saksi dalam sudang virtual dan dimensi pembuktian saksi yang dalam tahap penyidikan sudah diperiksa dan atas keterangannya tersebut juga telah dibuatkan berita acara sumpah terhadap saksi tersebut setelah pemeriksaan dalam tahap penyidikan di lakukan.

a. Pemeriksaan Saksi dalam Sidang Virtual

Pada asasnya persidangan yang dilakukan secara daring atau virtual maupun secara langsung tidak terdapat perbedaan secara signifikan dari segi hasil pemeriksaan dan kekuatan mengikat dari alat bukti yang didapatkan. Yang membedakannya hanyalah dukungan platform teknologi informasi dan komunikasi serta sarana elektronik lainnya. Hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 PerMA 4/2020, dalam pasal tersebut juga ditegaskan bahwa kekuatan pembuktian antara pemeriksaan saksi secara tatap muka dengan virtual adalah sama.

Terkait dengan pemeriksaan saksi pada umumnya juga dilakukan cross checking atau pemeriksaan silang dengan memperlihatkan barang bukti atau alat bukti surat kepada saksi, dalam hal ini pasal 5 PerMA juga menegaskan tentang pentingnya dilakukan pemindaian terhadap bukti surat. Pemindaian terhadap alat bukti surat ataupun photo barang bukti sangat penting dilakukan dalam hal untuk menunjukkan bukti kepada saksi yang akan dikonfirmasi. Jadai dalam hal ini jika sudah ditetapkan bahwa siding akan dilakukan secara virtual sudah seharusnya berbagai bukti surat atau photo terkait dengan keadaan atau kedudukan saksi dalam surat atau photo tersebut dapat dikirimkan secara elektronik mengingat proses pemindaian yang seharusnya sudah dilakukan jauh sebelum pemeriksaan dilakukan. Untuk itu menjadi aneh ketika sudah diputuskan siding untuk dilakukann secara virtual dan saksi sudah hadi dalam ruang digital akan tetapi dibatalkan hanya karena ada pertanyaan yang akan diajukan dengan mengkonfirmasi bukti surat berupa SK atau surat yang diterbitkan saksi.

Alasan penundaan sidang virtual sangat elegan dibatalkan jika memang alasannya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11 PerMA adalah bahwa karena keberadaan saksi yang sedang melakukan pengobatan di Singapura, dan meminta agar lokasi keberadaan saksi dalam memberikan keterangan dilakukan di KBRI Singapura. Jika memang itu yang diminta, maka alasan majelis untuk menunda persidangan menjadi lebih elegan dilakukan bukan dengan alasan yang justru menimbulkan tanda tanya, ada apa dibalik penundaan sidang virtual tersebut.

Perlu juga diperihtaikan bahwa tata cara pemeriksaan sidang virtual yang dilakukan juga dengan tetap mengindahkan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Dalam hal ini maka pemeriksaan terhadap saksi sudah seharusnya juga tetap merujuk pada pasal 166 KUHAP dimana pemeriksaan harus dilakukan secara bebas, tidak boleh menekan terlebih pertanyaan yang bersifat menjerat. Dalam pemberitaan yang saya baca, bahwa hakim menyatakan "… Disini juga mencari pembuktian juga. Apakah saudara saksi ada kaitannya atau tidak." (tempo.co), dalam hal ini dapat kembali saya tegaskan bahwa pemeriksaan saksi secara virtual pun juga dilakukan untuk kepentingan pembuktian dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama.

b. Tata cara Pemeriksaan Saksi dengan dibacakan BAP Saksi

Ketentuan pembuktian yang berkaitan dengan pemeriksaan diluar hadirnya saksi juga telah diatur dalam Pasal 162 KUHAP. Dalam ayat 1, disebutkan tentang ketidakhadiran saksi karena alasan yang sah maka keterangan yang telah dilakukan pada saat penyidikan dapat dibacakan. Alasan yang sah yang dimaksud diantara adalah halangan yang sah, kediaman yang jauh atau sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Dalam pemberitaan lain disebutkan bahwa ketidakhadiran saksi karena sakit atau alasan Kesehatan atau pemeriksaan lanjutan yang berkaitan dengan Kesehatan saksi sehingga alasan tersebut adalah sah.

Pemberitaan lain disebutkan bahwa ketidakhadiran saksi dalam pemeriksaan juga karena ada kepentingan negara atau dipanggil Presiden mengingat keadaan atau kedudukan saksi, sehingga sekali lagi alasan tersebut adalah alasan yang sah. Pada saat kehadiran saksi dalam sidang virtual adalah saat bersamaan saksi sedang menjalani pengobatan yang sekaligus juga saat itu saksi sedang berada di luar negeri, maka alasan ketidakhadiran secara fisik atau tatap muka adalah juga alasan yang sah. Memperhatikan kesemua alasan ketidakhadiran tersebut yang menurut penilaian saya adalah sah maka tidak cukup alasan untuk menolak keadaan ataualasan tersebut.

Mengingat alasan yang sah tersebut maka sangatlah beralasan untuk kepentingan asas peradilan yang cepat dan berbiaya ringan untuk membacakan berita acara pemeriksaan saksi yang sudah dilakukan pada saat penyidikan, terlebih keterangan dalam penyidikan tersebut juga disertai dengan berita acara sumpah. Merujuk pada pasal 162 KUHAP maka BAP saksi daari tahap penyidikan cukup dibacakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1. Dalam kaitannya dengan kekuatan pembuktian, maka dalam hal ditemukan berita acara sumpah sebagai supplementoir yang menyertai BAP aquo maka sesuai dengan pasal 162 ayat 2, keterangan yang dibacakan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama sebagaimana saksi menyampaikan keterangan dimuka sidang.

c. Perlukah Surat Panggilan Paksa diterbitkan?

Mencermati berbagai penjelasan yang telah dijelaskan diatas maka diterbitkannya surat panggilan paksa terhadap saksi tidak perlu diterbitkan, bahkan terkesan berlebihan. Dalam pemberitaan tempo.co tersebut juga dijelaskan bahwa jaksa penuntut umum telah mengajukan pendapat kepada hakim agar pemeriksaan virtual tetap dilanjutkan mengingat saksi telah hadir secara virtual. Namun pendapat jaksa dijawab majelis dengan penerbitan surat panggil paksa terhadap saksi. Padahal by laws sebagaimana yang dimaksud dalam PerMA 4/2020 tersebut diatas bahwa keterangan saksi secara virtual tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama.

Bahkan jauh sebelum kehadiran saksi secara virtual, telah pula disampaikan alasan yang sah ketidakhadiran saksi sebagaimana yang telah jelaskan diatas, maka sejatinya keterangan saksi tersebut cukup dibacakan saja. Dalam putusan MK Nomor 72/PUU-XV/2017 yaitu terkait pengujian konstitusional pasal 162 KUHAP yang ditolak oleh Mahkamah, dimana alasan mahkamah karena dalam pembuktian keterangan yang dibacakan tersebut bukanlah satu-satunya alat bukti yang saksi yang digunakan. Mahkamah dalam pendapatnya melalui Hakim Konstitusi (Justice) Saldi Isra menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan pengadilan tipikor yang menjadi dasar permohonon terlihat bahwa hakim tidak hanya menyandarkan putusannya pada satu keterangan saksi yang dibacakan jaksa penuntut umum. Lebih jauh lagi, Justice Saldi Isra menyatakan bahwa terdapat persesuaian antara kesaksian saksi-saksi yang lain dan ditambah keyakinan hakim.

Dalam pemberitaan tempo.co juga disebutkan bahwa telah pula di dengar 2 orang saksi dan satu orang ahli yang dilakukan secara virtual, selain dua orang saksi yang sudah didengar secara tatap muka yaitu Muhammad Suhairin dan Artika. Dalam hal ini maka sejatinya telah terdapat dua alat bukti yang sah dan cukup untuk mempertimbangkan bagi kepentingan pembuktian terhadap apa yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Lebih jauh lagi, pemeriksaan yang akan hendak dilakukan pemeriksaan silang yang mejadi alasan penolakan pemeriksaan secara virtual karena majelis hakim hendak melakukan pemeriksaan atau mengajukan pertanyaan berkaitan dengan SK yang diterbitkan saksi, dalam hal mana SK yang dimaksudkan adalah keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dalam hal ini bukan kewenangan majelis hakim peradilan umum untuk melakukan penilaian atas KTUN aquo. Hal ini semakin membingungkan saya, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang penerbitan surat panggil paksa yang menurut hemat saya tidak perlu diterbitkan. Penilaian terhadap SK aquo yang merupakan KTUN bukan kewenangan peradilan umum hal ini secara absolut adalah kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Demikian tulisan atas kegusaran saya setelah membaca berbagai pemberitaan yang menimbulkan polemic yaitu diterbitkannya surat pemanggilan paksa atas saksi Mardani H Maming meskipun sebelumnya telah diputuskan persidangan secara virtual dan saat itu saksi telah hadir secara virtual namun ditolak majelis. Saya tidak mampu menemukan apa kepentingan atau urgensi diterbitkannya surat panggil paksa tersebut, mengingat berbagai alasan yang disampaikan saksi sehingga tidak hadir dalam sidang sebelumnya adalah sah. Terlebih dalam pemberitaan yang saya baca, hakim hendak menanyakan berkaitan SK yang diterbitkan saksi, padahal SK tersebut termasuk dalam katagori KTUN sehingga penilaian atau pemeriksaan atas substansi suatu KTUN adalah kewenangan absolut dari PTUN bukan Peradilan Umum.

Semoga tulisan ini bermanfaat dalam memberikan cakrawala pandang pembaca tentang hukum acara pidana dan titik singgung antara Peradilan Umum dengan PTUN.

Junaedi Saibih, S.H.,M.Si.,LL.M adalah Dosen Tetap FHUI & Ketua Bidang Studi (Department) Hukum Acara FHUI