Telisik THR dalam Histori, Warisan PKI untuk Negeri?

THR kini menjadi hak seluruh kaum pekerja di Indonesia. Sayang, SOBSI yang paling gigih memperjuangkannya, justru terkubur dalam lipatan sejarah

Demonstrasi SOBSI menuntut hadiah lebaran di Bandung (1950). Foto: Potret Lawas.

apahabar.com, JAKARTA - Adalah hal lumrah bila karyawan menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dari korporat tempatnya bekerja. Siapa sangka, pendapatan non-upah ini dulunya cuma ditujukan bagi PNS dalam bentuk persekot, yang ibarat ‘pinjaman.’

Melalui PP No. 27 Tahun 1954, Pemerintah Indonesia mengatur tentang pemberian persekot. Bahwasanya, sang penerima mesti mengembalikan bantuan senilai separuh pendapatan per bulan itu dalam jangka setengah tahun secara potong gaji.

Kebijakan yang demikian lantas menuai kecemburuan dari kaum buruh. Mereka membentuk kolektif juga menuntut agar THR tak hanya diberikan kepada PNS, tetapi seluruh buruh atau pekerja di Indonesia.

Diprakarsai Organisasi Sayap PKI

Salah satu yang tergabung dalam gerakan itu ialah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), kelompok yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka berdiri di garda terdepan, paling lantang menyuarakan tuntutan THR untuk kaum kerah biru. 

Suara mereka mulai digaungkan dalam Sidang Dewan Nasional II pada Maret 1953 di Jakarta. Mereka, sebagaimana dituliskan Gunadi dalam artikelnya (1957), meminta bahwa, “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.”

Sayang, suara mereka belum sampai ke telinga penguasa. Selang dua tahun kemudian, SOBSI kembali mengeluarkan tuntutan yang mendesak pemerintah untuk mewajibkan para pengusaha agar membayar THR kepada kaum buruh.

Bermula dari 50 sampai 300 Rupiah

Tuntutan para buruh ini, sebenarnya, bukannya sama sekali tak digubris pemerintah. Desakan serta tuntutan itu membuat Menteri Perburuhan dari Kabinet Ali Sastroamidjojo I, S. M. Abidin, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54. 

Surat itu diterbitkan hanya untuk meredam tuntutan buruh. Pemerintah sebatas memberikan ‘imbauan’ kepada perusahaan untuk memberi THR secara sukarela sebesar “seperduabelas dari upah yang diterima buruh.”

Jumlahnya pun tak banyak, di mana “sekurang-kurangnya 50 rupiah dan sebanyak-banyaknya 300 rupiah.” Tiga tahun berlalu, surat edaran itu tetap berlaku. Hanya sekadar beredar, namun sama sekali tidak menenangkan perut buruh di kala lebaran.

Sebab itulah serikat buruh, terutama SOBSI, terus bergerak. Perjuangan mereka yang seolah tiada henti, akhirnya menghirup angin segar dengan diangkatnya Ahem Erningpraja menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II.

Ahem mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961. Beleid itu mengatur THR wajib dibayarkan juga menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan kerja, meski besarannya belum sebulan gaji kotor.

THR kini menjadi hak seluruh kaum pekerja di Indonesia. Sayang, SOBSI yang paling gigih memperjuangkannya, justru terkubur dalam lipatan sejarah.

Jangankan mendapat simpati rakyat, organisasi ini justru dibubarkan dan dilarang, karena dianggap sebagai bagian dari PKI.