Tradisi Leluhur

Telisik Film ‘Pamali’, Ini Pantangan yang Masih Relevan dengan Tradisi Leluhur

Bukan cuma di film, pamali sejatinya benar-benar mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pamali mengandung makna tersendiri sesuai tradisi leluhur

Film Pamali (Foto: Monitor)

apahabar.com, JAKARTA - Apa jadinya bila sepasang pendatang melanggar pantangan yang sudah menjadi tradisi di tempat barunya itu? Begitulah kiranya premis Pamali, film yang telah mengudara sejak 6 Oktober 2022 lalu.

Karya adaptasi dari gim berjudul sama ini menuturkan kisah Jaka Sunarya yang baru saja kehilangan pekerjaan.

Demi bertahan hidup, dia menjual rumah peninggalan orang tuanya, lantas memilih tinggal di sebuah desa bersama sang istri, Rika.

Alih-alih harmonis, kejadian mistris justru mulai menyelimuti kehidupan baru Jaka dan Rika. Hal ini dikarenakan keduanya melanggar aturan atau ‘pamali’ yang sudah menjadi keyakinan turun temurun di desa itu.

Menelisik Makna Tersembunyi di Balik ‘Pamali’

Bukan hanya di film, pamali alias pantangan sejatinya benar-benar mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Konsep ini berfungsi sebagai larangan untuk melakukan sesuatu, dengan dasar ‘jika dilanggar, akan mendatangkan bencana.’

Penelitian Analisis Budaya Pamali dalam Kultur Masyarakat (2016) mengungkapkan pamali sebenarnya mengandung nilai kehidupan. Nilai tersebut berupa sebuah kepercayaan yang menggerakan seseorang untuk bertindak atau menghindari sesuatu, juga mengenai pantas tidaknya sesuatu untuk dilakukan.

Sejalan dengan itu, Yayuk (2011) dalam penelitiannya yang dilansir dari laman Kantor Bahasa Maluku, menyebut pamali mengandung ‘sesuatu’ yang tersembunyi. ‘Sesuatu’ itu memiliki arti dan nilai tertentu sesuai pengadaptasian nalar.

Pamali umumnya dibuat agar manusia dapat menjaga norma, kelestarian lingkungan, bersikap sopan kepada orang lain, berlaku etis di kalangan masyarakat, serta mengajarkan anak-anak untuk mendengarkan ucapan orang tua.

Deretan Pantangan yang Masih Relevan dengan Tradisi Leluhur

Berdasarkan penjelasan di atas, sudahlah tentu setiap pamali yang menyeruak di masyarakat mengandung makna tersendiri. Misalnya saja, seperti ‘larangan memotong kuku di malam hari.’

Salah satu mitos terpopuler di Indonesia itu sebenarnya bukan berangkat dari unsur mistis. Melainkan, kekhawatiran orang tua zaman dulu terhadap anaknya.

Dulu, Indonesia masih belum ada listrik, sehingga penerangan lampu pun sangat minim. Atas dasar inilah, orang tua melarang anaknya untuk memotong kuku di malam hari – salah-salah, dapat membuat jari terluka.

Pamali populer lainnya adalah larangan duduk di depan pintu. Katanya, ‘kalau duduk di ambang pintu, bakal sulit mendapat jodoh.’

Faktanya, mitos ini memiliki penjelasan cukup logis. Ketika ada seseorang di depan pintu, jalan keluar masuk pasti akan terhalang. Bila pintu tercegat, otomatis nasib baik yang akan masuk juga demikian. 

Bisa saja, nasib baik itu adalah rencana lamaran atau jenis kebaikan yang lain. Terlebih pada zaman dulu, alat komunikasi sangat terbatas sehingga rencana mengunjungi seseorang bisa saja tanpa mengabari terlebih dahulu.

Pamali yang juga sering didengar, utamanya bagi masyarakat Sunda, adalah larangan bersiul di malam hari. Konon, ‘bersiul pada malam hari dapat memanggil berbagai jenis setan.’

Pantangan ini sebenarnya dibuat untuk menegaskan bahwa tidak elok melakukan siulan pada malam hari, sebab dapat mengganggu orang lain yang sudah terlelap. Mengingat, malam hari adalah waktunya istirahat, sehingga suara siulan akan mengganggu.

Ada pula pamali yang melarang duduk di atas bantal. Tak sedikit yang percaya bahwa ‘duduk di atas bantal dapat membuat bokong bisulan.’

Larangan yang demikian sebenarnya menyangkut adab dan sopan santu budaya Timur. Bantal adalah tempat untuk menyandarkan kepala, sehingga tak elok rasanya bila dijadikan tempat duduk.