Kalsel

Tegas, Buruh Metal Kalsel Tolak Sistem Upah per Jam

apahabar.com, BANJARMASIN – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalimantan Selatan menolak Omnibus Law Kluster Ketenagakerjaan….

Ilustrasi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalimantan Selatan. Foto-Dok apahabar.com

apahabar.com, BANJARMASIN – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalimantan Selatan menolak Omnibus Law Kluster Ketenagakerjaan.

Menurut mereka regulasi yang dicanangkan Presiden Jokowi itu bakal secara langsung merevisi UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Khususnya terhadap pasal-pasal tertentu, seperti Jam Kerja, Upah, Pesangon, Tenaga Kerja Asing (TKA), Outsourcing, Jaminan Sosial, dan lain sebagainya.

Isi omnibus law tersebut dinilai sangat merugikan kaum buruh, antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang fleksibel.

“Termasuk upah bulanan dirubah menjadi upah per jam,” ujar Yoeyoen Indharto Ketua DPW FSPMI Kalsel dalam siaran persnya, Selasa (31/12) pagi.

Sejumlah alasan penolakan dirincikan oleh Yoeyoen. Antara lain, prinsip upah minimum adalah safety-net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin.

Itulah, kaya dia, yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU No 13/2003.

“Jadi kalau sitem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum akibat pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam di mana buruh bekerja,” jelas dia.

Jika ini diterapkan, Yoeyoen kuatir pengusaha bisa secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh.

“Kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam, bisa saja buruh tidak dikasih jam kerja,” jelas dia.

Hal ini lah yang mendukung pernyataan bahwa dalam sebulan upah buruh bisa aja di bawah upah minimum.

“Jadi tidak ada perlindungan jaring pengaman untuk buruh bisa hidup minimum, kalau begitu, buat apa ada investasi bila menyengsarakan kaum buruh?” tanyanya.

Peran negara, kata dia, dibutuhkan untuk melindungi rakyat kecil yang hanya mengandalkan upah minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya menjadi hilang.

Alasan lain, adanya diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang haid.

“Dua hari pertama upahnya akan terpotong, padahal selama ini bila cuti haid upahnya tidak dipotong,” jelas dia.

Begitu juga dengan buruh yang sedang sakit, cuti melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan yang lainnya. Sistem upah per jam dinilai merugikan kaum buruh.

Sementara, Sekretaris DPW FSPMI Kalsel menilai supply dan demand tenaga kerja di Indonesia masih memiliki jarak yang tinggi.

Termasuk angka pengangguran dibanding negara maju yang sudah menerapkan upah per jam.

“Akibatnya daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah, bisa saja pengusaha mengatakan hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut,” jelas Santo.

Menurutnya, hal itu menandakan tidak ada perlindungan dari negara buat kaum buruh akan hak hidupnya.

“Akibatnya terjadilah penurunan daya beli buruh dan menurunkan konsumsi yang berakibat turunnya angka pertumbuhan ekonomi karena hanya rakyat mempunyai penghasilan sekadar buat makan saja untuk perutnya,” tuturnya.

Di negara industri maju yang menerapkan upah per jam, kata dia, supply dan demand tenaga kerja dan angka pengangguran nya relatif kecil.

“Selain itu, sistem jaminan sosialnya sudah layak termasuk adanya unemployment insurance. Sehingga mereka pindah kerja di pasar kerja relatif mudah,” ujarnya.

Terakhir, FSPMI juga menyatakan tingkat pendidikan buruh Indonesia dalam angkatan kerja 70% adalah lulusan SMP ke bawah.

“Berarti banyak atau mayoritas unskill workers, yang dengan sistem upah per jam bisa dipastikan mereka akan absolut miskin,” jelas dia.

Dia meminta pemerintah untuk fokus meng-upgrade pendidikan para buruh di angkatan kerja menjadi 80%.

“Pendidikannya SMA ke atas dan ketersediaan lapangan kerja yang melimpah, baru kita diskusi upah per jam,” ujar Yoeyoen.

Pemerintah masih membahas draf Rancangan UU yang disebut Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Presiden Joko menargetkan draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah bisa disampaikan kepada DPR pertengahan Januari 2020.

Presiden menegaskan bahwa dia tidak ingin Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dimanfaatkan untuk menyisipkan pasal-pasal yang tidak relevan.

“Tolong dicek, hati-hati betul, jangan sampai dimanfaatkan untuk tumpangan pasal-pasal titipan yang tidak relevan,” katanya dikutip dari Tempo, Jumat 27 Desember kemarin.

Baca Juga:Demo Penajam, dan Alasan Dewan Pengupahan UMK Tak Naik

Baca Juga:Buruh Tagih Janji DPRD Kalsel Panggil 2 Perusahaan Bermasalah

Editor: Fariz Fadhillah