Teater Perang dan Kebangkitan Asia

Di pertandingan itu, pasukan Jepang benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk.

Saat Jerman dikalahkan Jepang di Piala Dunia

LELAKI itu, Hajime Moriyasu. Saat peluit panjang dibunyikan di Khalifah International Stadium, dia kegirangan dan diliputi bahagia. Pasukan Samurai Biru yang dibawanya sukses menebas permainan pasukan Bavaria.

"Saya mempersiapkan mereka untuk bermain secara kolektif. Saya persiapkan mereka untuk berperang,” kata Moriyasu saat sesi konferensi pers, sebagaimana dilansir dari laman zerozero.

Sehari sebelumnya, pasukan Saudi Arabia menghancurkan Argentina, tim yang sempat disebut unbeatable atau tak terkalahkan. Semua orang lupa kalau bola selalu bundar.

Sebagaimana dikatakan Michel Platini, dalam dunia bola, bukan awal yang penting, melainkan akhir yang menentukan segalanya. Anda boleh jemawa karena merasa perkasa, tetapi hasil akhir akan menghukum Anda ke titik paling memalukan.

Di pertandingan itu, pasukan Jepang benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk. Harga diri pasukan ini sempat terkoyak saat bek Jerman, Antonio Rudiger seakan mengejek pemain Jepang dengan cara berlari sambil berjingkrak.

Dia seakan menertawakan orang Asia yang jangkauan larinya pendek. Rudiger tidak tahu kalau sekali harga diri terkoyak, maka maut pun bisa ditempuh. Pasukan itu menjalankan kamikaze yakni mengeluarkan energi terbaiknya.

Orang Jepang sudah lama mendambakan malam itu. Seorang komikus bernama Yoichi Takahashi pernah membuat animasi mengenai Jepang yang membobol gawang Jerman melalui tendangan Tsubasa Ozora. Semalam, yang menjalankan peran Tsubasa adalah Takuma Asano, pemain yang merumput di kandang Jerman.

Piala Dunia edisi ini penuh kejutan. Kuasa-kuasa lama perlahan digusur. Tim-tim mapan tidak bisa lagi memandang remeh tim-tim Asia yang semenjana.

Di lapangan ekonomi, kuasa lama mulai keropos. Ini Abad Asia, abad di mana negara-negara Asia, yang dahulu porak poranda karena perang, kini muncul menjadi kekuatan baru. Lihat saja di jajaran negara G-20. Asia menempatkan tujuh negara di jajaran negara yang ekonominya paling mapan.

Saya ingat Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Uni Eropa Josep Borrell Fontelles. Saat berkunjung ke Jakarta, dia mengatakan, masa depan akan ditulis di Indo-Pasifik. Sebab, 60 persen perekonomian dunia bergerak di Indo-Pasifik dan 2,5 miliar jiwa kelas menengah tinggal di kawasan ini.

Jauh-jauh hari, sejumlah pakar hubungan internasional telah menggaungkan istilah ”Abad Asia”. Seperti Rachman lewat buku Easternization itu, pakar-pakar menyebut Abad Asia sebagai era kebangkitan peran Asia dan penurunan peran AS-Eropa.

AS dan Eropa adalah kuasa lama yang kian ditinggalkan. Mereka masih beranggapan kalau mereka adalah pusat dunia. Di arena ekonomi, semua tahu kalau Asia akan menjadi kekuatan ekonomi dan geopolitik yang dominan di kancah global.

Dalam buku "The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East" yang ditulis tahun 2008, Profesor Kishore Mahbubani juga meramalkan kebangkitan Asia. Dalam buku yang menjadi pegangan banyak mahasiswa, termasuk di Harvard University, dia Asia memasuki era baru sejarah dunia yang ditandai dengan dua poin utama.

Pertama, akhir dari era dominasi Barat dalam sejarah dunia. Tapi, akhir dari dominasi Barat dalam sejarah dunia tidak berarti akhir dari Barat. Kedua, dia melihat kembalinya Asia.

Sejak tahun pertama Masehi hingga tahun 1820, China dan India secara konsisten merupakan dua ekonomi terbesar di dunia. Mereka akan kembali ke posisi yang sama tadi di abad ke-21 ini.

Kishore menempatkan penggunaan telepon seluler yang melonjak tajam di Asia sebagai tolok ukur kebangkitan kembali Asia. Lihat saja pasar telepon selular di seluruh dunia yang didominasi produk Asia.

Kata Kishore, memperoleh telepon seluler bukan hanya soal menggunakan alat. Ini adalah tentang memberdayakan kaum miskin, lebih efektif daripada mendapat dana bantuan asing.  Telepon seluler mendorong langkah menuju modernitas yang melanda di seluruh Asia. Informasi soal kemajuan bisa diraih lebih awal.

Katanya, Asia bangkit karena menyerap tujuh pilar kebijakan Barat. Tujuh pilar itu, yakni pasar bebas ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, meritokrasi, budaya pragmatisme, budaya perdamaian, penegakan hukum, dan pendidikan.

”Tragisnya, pada saat negara-negara Asia telah menemukan kembali kebijakan tujuh pilar, negara-negara Barat telah kehilangan kepercayaan pada beberapa pilar tadi, termasuk ekonomi pasar bebas. Karena itu, waktunya telah tiba bagi Barat untuk kembali mempelajari nilai-nilai dari tujuh pilar dari negara-negara Asia,” ujar Kishore.

Kita semua tahu kalau realitas bergerak lebih cepat dari prediksi para ahli. Kita tak menyangka kalau kejatuhan Eropa dan Amerika itu bisa lebih cepat.

Saat badai pandemi menghantam, krisis ekonomi mulai tumbuh bak jamur, lalu kian diperparah oleh invasi Russia ke Ukraina. Di titik ini, Eropa mulai limbung karena kehabisan energi dan gas. Pendulum sejarah segera bergeser ke Asia.

***

“Ini bukan kejutan. Ini sejarah,”kata Moriyasu. Dia menyebut, kunci kemenangan Jepang terletak pada pengalaman pemain yang sudah malang-melintang di liga Jerman dan berbagai liga Eropa.

Dia menggemakan spirit orang Asia yang dengan cepat bisa menyerap kemajuan di berbagai tempat. Di era Meiji, Jepang bisa bangkit dan menjadi raksasa ekonomi karena meniru Eropa. Seiring waktu, mereka memperkat karakter dan membangun etos kerja sebagai bangsa unggul.

Tentu saja, dibutuhkan fokus dan konsistensi untuk menjalankan semua pelajaran itu. Sikap angkuh dan jemawa hanya akan membuat satu bangsa terlena lalu abai pada sejarah, lalu kalah.

Tim Jerman memulai pertandingan dengan menutup mulut. Mereka memilih untuk menyampaikan pesan politik di satu arena di mana mereka harusnya fokus. Sikap abai itu lalu dihukum dengan dua gol di menjelang babak kedua berakhir.

“Kami bersatu sebagai satu kesatuan. Kami harus bertahan sampai peluit akhir berbunyi. Kami datang bukan untuk sekadar bertanding. Kami sedang berperang,” kata Moriyasu.