Tarif Cukai Rokok Naik, Ini Alasan Menteri Keuangan

Tarif cukai rokok mengalami kenaikan berkala selama 5 tahun ke depan. Ini alasan Menteri Keuangan Sri Mulyani

Ilustrasi, tarif cukai rokok naik. Foto-Liputan6.

apahabar.com, JAKARTA - Tarif cukai rokok mengalami kenaikan berkala selama 5 tahun ke depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani beralasan, keputusan ini dilakukan guna mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok.

Bendahara negara berharap kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.

"Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan semakin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun," katanya, dilansir CNN Indonesia, Jumat (4/11).

Adapun untuk besaran tarif cukai rokok, untuk rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen dan cukai hasil tembakau (CHT) rokok, naik sebesar 10 persen.

Sri Mulyani menuturkan kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya.

"Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKT I, II, dan III naik 5 persen," ujarnya.

Dalam penetapan CHT, Sri Mulyani mengatakan pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.

Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Tidak hanya itu, pemerintah juga mempertimbangkan konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.

"Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," jelas Sri Mulyani.