Candi Borobudur

Tari Mandhatara, Kesenian yang diadaptasi dari Kitab Avadhana dan Raja yang Lahir dari Kepala

Tari Mandhatara diadaptasi dari kisah Mandhatar dari kitab Avadhana yang digambarkan dalam 20 panel di lantai kedua bagian dalam Candi Borobudur.

Tari Mandhatara yang diadaptasi dari Kitab Avadhana Borobudur(Apahabar.com/Arimbihp)

Apahabar.com, MAGELANG - Tari Mandhatara diadaptasi dari kisah Mandhatar dari kitab Avadhana yang digambarkan dalam 20 panel di lantai kedua bagian dalam Candi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur (BCB) menggelar aktualisasi seni Natya. Kegiatan yang menjadi bagian dari '8th International Experts Meetings on Borobudur' tersebut menampilkan sejumlah karya seni yang mengadaptasi relief Candi Borobudur.

Salah satu karya yang menyita perhatian pengunjung saat ditampilkan yakni tari Mandhatara.

Karya Tari Mandhatara diciptakan seniman sekaligus dalang ternama dari Magelang, Ki Eko Sunyoto.

Ki Eko Sunyoto pencipta Tari Mandhatara (Apahabar.com/Arimbihp)

Sesuai namanya, Tari Mandhatara diadaptasi dari kisah Mandhatar dari kitab Avadhana yang digambarkan dalam 20 panel di lantai kedua bagian dalam Candi Borobudur.

Mandhatara adalah bagian dari kisah Lalitavistara (Kisah Hidup Buddha) yang berada pada satu deret panel yang sama dengan relief kisah Manohara.

Tari Mandhatara menceritakan kisah tentang Raja Uposadha dan Permaisuri yang merindukan seorang anak.

"Berbagai cara dilakukan agar permohonan tersebut dikabulkan para dewa, berbagi derma kepada rakyatnya yang miskin," tutur Eko, Rabu (25/10).

Kemudian, lanjut Eko, tiba saat Sang Raja menemui sang Pertapa dan meminum air yang seharusnya diminum oleh permaisuri.

Akibat hal tersebut, mengandunglah Sang Raja di kepala. Kemudian lahirlah putranya diberi nama Mandhatar.

Dikisahkan pada tarian tersebut, Mandhatar memiliki kesaktian tak tertandingi dan kepiawaian.

Saat Sang Raja meninggal, Mandhatar naik tahta menjadi Raja yang tidak terkalahkan dan penguasa di dunia.

"Setelahnya Mandhatar mampu menciptakan hujan padi dari langit, menurunkan hujan kain berlembar-lembar dengan aneka warna dan bentuknya.

Tak hanya itu, Eko mengatakan, Raja Mandhatar juga menurunkan hujan emas permata.

Rakyat menyambut gembira hujan busana dari langit tersebut, hingga suatu hari Raja Mandhatar ingin menguasai surga Tryasringsa.

"Saat sedang mengatur negaranya, datanglah serangan Asura," kata Eko yang juga pemilik Sanggar Tari Kinnara Kinnari Borobudur.

Namun demikian, serangan tersebut berhasil dikalahkan dengan bantuan Raja Mandhatar.

"Keberhasilan tersebut membuat Raja Mandhatar menjadi samakin congkak dan keinginannya untuk menguasai surga Tryasringsa kian meluap-luap," jelas Eko.

Keserakahan Mandhatar untuk menguasai surga Tryasringsa itulah yang membuat dirinya terpental dan terusir dari surga.

"Keluarnya Mandhatar dari surga membuatnya mencapai titik kesadaran," tutur Eko.

Menurut Eko, tarian berdurasi sekitar 15 menit itu melibatkan kurang lebih 30 penari dari siswa-siswi Sanggar Kinnara Kinnari Borobudur.

Para siswa Sanggar Kinnara Kinnari Borobudur terdiri dari berbagai usia, namun didominasi pelajar TK hingga SMA.

"Paling kecil TK besar, ada juga yang sudah kerja, latian rutinnya setiap Sabtu Minggu dan terbagi dalam beberapa kelas," kata Eko.

Eko menilai, tari dan kesenian adalah cara paling efektif agar masyarakat khususnya generasi muda lebih bisa mengenal budaya, khususnya tentang Candi Borobudur.

"Jadi bukan hanya menjadi penikmat atau wisatawan, tetapi mereka, calon penerus bangsa bisa mengetahui tiap inci dari bagian Candi Borobudur," pungkasnya.